TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Eksekutif Freeport McMoran Richard Adkerson optimistis negosiasi dengan pemerintah tentang kelanjutan operasi perusahaan bisa mencapai titik temu. Namun, jika negosiasi buntu, perusahaan menyatakan bakal menempuh jalur arbitrase.
"Apabila diskusi kami bersama pemerintah gagal, kami akan melanjutkannya melalui arbitrase. Kami dan pemerintah sebenarnya tidak menginginkan itu. Makanya harus ada solusi bersama," ujar Adkerson dalam paparan publik Freeport, dikutip dari situs resminya, seperti dikutip Koran Tempo edisi Jumat, 28 Juli 2017.
Simak: Perundingan Freeport Pemerintah Ditargetkan Rampung Oktober 2017
Richard mengatakan perusahaan bakal menanamkan modal untuk penambangan Grasberg di Papua tahun ini sebesar US$ 700 juta. Tahun depan, investasi yang digelontorkan bakal bertambah sebesar US$ 750 juta. Apabila perundingan gagal, belanja modal sejumlah itu akan batal.
Menurut dia, gugatan arbitrase adalah hak anak usahanya dan pemerintah sebagai pihak yang terikat dalam kontrak karya. Freeport, kata Richard, telah melakukan banyak hal untuk menyiapkan penambangan bawah tanah di Papua selepas kontrak karya berakhir pada 2021.
Richard mengatakan, dalam gugatan arbitrase, pihaknya bakal menagih kompensasi yang sangat besar kepada pemerintah. Perusahaan juga bisa langsung mendaftarkan gugatan karena masa rekonsiliasi selama 120 hari sudah lewat. "Tapi prioritas kami adalah mencari solusi yang menguntungkan kedua pihak," ujarnya.
Baca: Freeport Tak Otomatis Diperpanjang Kontraknya Pasca 2021
Awal tahun lalu, perusahaan mengancam akan menggugat pemerintah di arbitrase internasional karena larangan ekspor konsentrat tembaga. Kebijakan itu membuat produksi Freeport turun menjadi 40 persen dari kapasitas normal. Pemerintah kemudian melunak dengan mengizinkan perusahaan kembali menjual tembaga olahan ke luar negeri. Kedua pihak juga menyepakati masa transisi sejak April lalu untuk merundingkan empat hal: kelanjutan operasi, kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian, kewajiban melepas saham, serta stabilitas investasi jangka panjang.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Ketua Tim Perundingan, Mochamad Teguh Pamuji, melaporkan, perundingan mulai menemui kata sepakat. Dia optimistis negosiasi bisa rampung lebih cepat dari target, yaitu Oktober mendatang.
Teguh juga mengklaim perpanjangan operasi bisa diberikan selama Freeport menyepakati tiga syarat lain. Perusahaan turut bersedia membangun smelter hingga maksimal tahun 2022. Jika hingga Oktober tidak ada kelanjutan pembangunan, rekomendasi ekspor bakal dicabut.
Baca: Freeport Jajaki Kesepakatan Pertambangan Baru dengan RI
Mengenai pelepasan sebagian kepemilikan, nantinya bakal ditempuh melalui penambahan saham baru. "Itu baru wacana yang disampaikan," tutur Teguh dalam paparan kemajuan perundingan, Rabu lalu.
Freeport menyarankan sekitar 10 persen saham dilepas ke bursa saham lokal. Namun Richard tidak menjelaskan apakah perusahaannya menerima kewajiban pelepasan saham versi pemerintah sebesar 51 persen. Sampai saat ini, Freeport mengklaim hanya wajib divestasi sebesar 30 persen.
Richard mengemukakan persoalan divestasi bakal menjadi tahap akhir dari perundingan. Dia menginginkan pemerintah terlebih dulu merestui perpanjangan kontrak Freeport hingga 2041. "Itu tujuan yang kami perjuangkan, sesuai dengan ketentuan dalam kontrak," katanya.
DIKO OKTARA | ROBBY IRFANY