TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan hingga saat ini pemerintah harus membayar utang yang sempat dipinjam untuk mengatasi krisis ekonomi 1997-1998. "Sampai hari ini pemerintah masih harus nyicil 12 persen dari total utang kita. Itu warisan krisis," kata Sri Mulyani saat diskusi di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kamis, 27 Juli 2017.
Pemerintah harus membayar cicilan piutang kepada Bank Indonesia sekitar Rp 444,7 triliun dari total pemerintah pusat per akhir Juni sebesar Rp3.706 triliun. Pemerintah harus melunasi utang tersebut kepada Bank Indonesia.
Baca: Saat Dilantik Jokowi Dapat Warisan Utang Rp 2.700 Triliun
Menurut Sri Mulyani, mayoritas utang pemerintah berasal dari domestik. Dengan demikian, masyarakat dapat mendapatkan manfaat langsung dari piutang yang digunakan untuk pembangunan ekonomi. "Bunga utang sekitar Rp 150 triliun itu jatuh ke masyarakat kita sendiri, walaupun benar ada juga asing yang menginginkan surat utang kita," kata Sri Mulyani.
Pemerintahan setelah reformasi harus terus melakukan konsolidasi fiskal. Setiap tahun pemerintah mengutak-utik anggaran untuk menutup defisit keuangan. Akibatnya pembangunan infrastruktur tak pernah menjadi perhatian utama.
Simak: Utang Naik Rp 34 Triliun, Kemenkeu: Untuk Belanja Produktif
Sri Mulyani mengakui utang pemerintah terus meningkat sejak 2012. Tambahan utang pada 2012-2014 mencapai Rp 609,5 triliun. Namun, piutang yang digunakan untuk pembangunan infrstruktur hanya Rp 456,1 triliun, pendidikan sebesar Rp 983,2 triliun, kesehatan Rp 145,9 triliun, dan sisanya untuk perlindungan sosial serta dana desa. "Tahun 1997-2012 tidak pernah investasi infrastruktur. Lalu tiba-tiba saat ekonomis stabil tahun 2017, kondisi infrastruktur kita left behind."
Pada 2015-2017, tambahan utang memang melonjak hingga Rp 1.166 triliun. Utang tersebut dipakai untuk pembangunan infrastruktur yang nilainya meningkat dua kali lipat yaitu mencapai Rp 912,9 triliun. Dana pendidikan bertambah jadi Rp 1.176 triliun, dana kesehatan meninngkat menjadi Rp 262,3 triliun dan sisanya untuk perlindungan sosial, dana desa, dan dana alokasi khusus. "Itu menggambarkan utang yang sifatnya produktif. Fiskal digunakan untuk mengkompensasi pelemahan ekonomi supaya tidak terlalu menekan masyadakat. Ini counter pelemahan sehingga kita bisa menekan pengangguran."
Utang juga menjadi pilihan pemerintah untuk memperdalam pasar keuangan domestik. Kapitalisasi pasar baik dari penyerapan surat berharga negara terhadap produk domestik bruto, serta interbank landing dinilai terlalu dangkal. Selain itu, rasio penyaluran kredit perbankan Indonesia jauh di bawah Turki, Malaysia, dan Meksiko, yaitu year to date hanya 2,6 persen.
Pemerintah berencana menambah utang baru sebesar Rp 384 triliun tahun ini untuk membiayai belanja negara yang meningkat jadi Rp2.133,2 triliun. Selain itu, pemerintah harus membayar bunga utang sebelumnya Rp 157 triliun dan tambahan pokok sekitar Rp 200 triliun. "Jadi utang bukan karena senang, tapi taktikal investment yang dibutuhkan republik," ucap mantan Direktur Bank Dunia itu.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan total utang luar negeri pemerintah dan swasta masih 34 persen dari produk domestik bruto US$ 1 miliar, atau lebih rendah dari patokan maksimal global sebesar 60 persen dari PDB. Nilainya saat ini mencapai US$ 334 miliar. Rasio utang hampir serupa dengan sepuluh tahun lalu, di mana total utang luar negeri sebesar US$ 141 miliar atau 32 persen dari produk domestik bruto saat itu. "Utang tak apa kalau memang ekonomi tambah besar, persentasenya masih sama ini strategi investasi pembiayaan untuk membangun ekonomi," kata Agus.
PUTRI ADITYOWATI