TEMPO.CO, Tangerang -Wakil Ketua Indonesia Air Traffic Controller Association (IATCA) Andre Budi mengatakan keselamatan penerbangan di Bandara Soekarno Hatta saat ini terancam karena kebijakan peningkatan kapasitas pergerakan pesawat udara lebih dari 76 pergerakan per jam.
"Potensi kecelakaan penerbangannya lebih besar dan banyak delay," ucapnya kepada Tempo, Kamis, 27 Juli 2017
Menurut Andre, ancaman keselamatan penerbangan ini terjadi sejak diberlakukannya Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 8 Tahun 2016 yang memerintahkan pergerakan pesawat sebanyak 72 penerbangan reguler ditambah empat penerbangan irreguler atau tidak berjadwal (72+4). "Karena aplikasi di lapangan tidak sesuai dengan hasil kajian," katanya.
Simak pula: Menhub Minta Bandara Utamakan Keamanan dan Keselamatan
Andre menambahkan, dengan kebijakan pergerakan 76 pesawat per jam, membuat petugas air traffic controller kewalahan selama ini. Sebab, pemandu pesawat udara di Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta belum dilatih untuk mengatur pesawat dengan peningkatan kapasitas tersebut. "Idealnya setiap tiga menit, dua pesawat yang dipandu, satu take off dan satu landing, tapi yang terjadi saat ini tiga pesawat per tiga menit yang dipandu."
Selain itu, kata Andre, kapasitas landasan pacu (runway) di Bandara Soekarno-Hatta saat ini belum memadai untuk pemberlakuan kebijakan tersebut. "Tambal sulam perbaikan permukaan landasan pacu Cengkareng kadang memperparah kondisi," ucapnya.
Menurut Andre, dampak yang terjadi selama ini adalah banyak penerbangan yang delay. Terjadi efek domino penumpukan pesawat karena harus mengantre, baik mendarat maupun tinggal landas.
Andre mengatakan pergerakan pesawat paling tinggi di Bandara Soekarno Hatta mencapai 84 per jam terjadi pada 29 Juni 2017, pukul 10.00 hingga pukul 10.59. "Selebihnya, rata-rata pergerakan pesawat di atas 76 per jam," katanya. Menurut Andre, IATCA telah menyampaikan secara lisan dan tertulis perihal keselamatan penerbangan tersebut kepada manajemen Kantor Cabang Utama JATSC dan Kantor Pusat Airnav Indonesia, tapi tidak ada respons.
JONIANSYAH HARDJONO