TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia , KH. Ma’ruf Amin, mengatakan Indonesia kini menuju era baru perekonomian. Perekonomian syariah akan menjadi pilar utama dari kebijakan-kebijakan baru ke depannya dengan mengedepankan kemitraan antara konglomerat dengan masyarakat kecil.
Baca: Ekonomi Syariah Diyakini Membawa Kemajuan Bangsa
Ma’ruf menjelaskan perekonomian syariah sebagai arus baru perekonomian Indonesia menjadi momentum untuk mengubah paradigma yang selama ini menggunakan pendekatan dari atas ke bawah (top-down) menjadi dari bawah ke atas (bottom-up).
“Kebijakan yang lalu dengan pendekatan top-down supaya melahirkan konglomerat dan diharapkan menetes ke bawah (mengembangkan masyarakat kecil). Tapi ternyata tidak netes-netes,” katanya dalam pidatonya di acara diskusi Peran Ekonomi Syariah Dalam Arus Baru Ekonomi Indonesia di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin, 24 Juli 2017.
Ma'ruf menambahkan paradigma bottom-up ini telah diluncurkan dalam kongres umat April lalu. Hal ini dianggap bisa menguatkan perekonomian umat yang tengah lesu. “Karenanya ke depan ekonomi nasional tidak seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat.”
Dalam kongres umat tersebut, Presiden Joko Widodo-seperti diutarakan oleh Ma’ruf-mengatakan akan membangun ekonomi umat ini dengan kebijakan redistribusi aset dan kemitraan antara konglomerat dan masyarakat dalam pelbagai komoditi. Masyarakat kecil diharapkan dapat berkontribusi dalam perekonomian nasional. "Majelis Ulama Indonesia akan membuat working group dengan pengusaha untuk mengembangkan ekonomi umat,” tuturnya.
Komitmen pemerintah ini, kata Ma’ruf, sebagai keseriusan mendorong percepatan tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Pemerintah akan membenahi beberapa peraturan yang dinilai menghambat percepatan tersebut dengan melibatkan dan berkonsultasi dengan MUI. Di sisi lain, MUI akan berperan dengan menerbitkan fatwa-fatwa yang diharapkan menjadi pemicu berkembangnya ekonomi syariah.
“Bila komitmen pemerintah berjalan mulus, maka Indonesia akan menjadi pemain dan pasar produk syariah dengan prospek cerah,” ucap Ma'ruf.
Ma’ruf menjelaskan salah satu pilar utama perekonomian syariah adalah zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (Ziswaf). Lewat pilar ini, ketimpangan antara kaya dan miskin serta ketimpangan wilayah timur dan barat di Indonesia dapat diatasi.
Zakat menjadi instrumen yang bisa menjawab kebutuhan investasi, menjaga daya beli masyarakat miskin, dan memberdayakan masyarakat. Sebab zakat berfungsi sebagai mekanisme pengendali dan menstimulus keluarnya harta bagi umat muslim.
Zakat yang diterima fakir dan miskin, bisa menjaga agregat konsumsi masyarakat yang menjadi penopang ekonomi. Selain itu, uang zakat bisa digunakan masyarakat miskin untuk berkontribusi dalam dunia usaha
Sementara itu, infaq, sedekah, dan wakaf menjadi instrumen yang mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut menjawab kebutuhan negara dalam memenuhi kepentingan publik. "Seperti pembangunan sarana dan prasarana, pemenuhan konsumsi dan lainnya untuk kepentingan umum," ucap Ma'ruf.
Gubernur Bank Indonesia , Agus Martowardojo, mengatakan potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp220 triliun dan dapat disalurkan untuk mengentaskan kemiskinan. Untuk membantu masyarakat miskin di Indonesia tidak bisa dengan memberikan pinjaman yang harus membayarnya dengan bunga.
Baca: Muliaman: Tanpa Terobosan, Industri Keuangan Syariah Stagnan
Masyarakat miskin di Indonesia, kata Agus, lebih cocok bila mendapatkan bantuan dari hasil pembayaran zakat atau wakaf. "Ini masuk dalam social finance dan itu baik untuk membuat kaum miskin bisa bangkit."
AHMAD FAIZ