TEMPO.CO, Jakarta - Relaksasi ekspor mineral mentah dan konsentrat kadar rendah dinilai melanggar ketentuan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009. Karena itu, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai beleid tersebut pantas dibatalkan.
Menurut Marwan, dampak relaksasi ekspor tersebut tengah dirasakan kalangan industri yang awalnya telah mengimplementasikan kebijakan hilirisasi mineral dengan membangun smelter. Beberapa smelter bahkan terancam gulung tikar dan rencana investasi ke depan menjadi tidak menentu karena perubahan yang signifikan dan menguntungkan pihak tertentu.
"Penerbitan peraturan tersebut melanggar Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009. IRESS sangat prihatin dan kecewa dengan sikap pemerintah ini. Karena itu, IRESS pun ikut bergabung mengajukan gugatan uji materi bersama Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) atas peraturan tersebut ke Mahkamah Agung pada akhir Maret 2017," tuturnya dalam acara yang digelar di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Juli 2017.
Simak: Batas Waktu Penataan Izin Usaha Pertambangan Diperpanjang
Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 dan Nomor 6 Tahun 2017. Ketiga aturan ini pada dasarnya mengizinkan kembali ekspor konsentrat, mineral mentah kadar rendah untuk bauksit dan nikel. Marwan menuturkan kebijakan hilirisasi merupakan amanat Pasal 33 UUD 1945 demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika merujuk pada konstitusi, pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang dapat dianggap sebagai pembangkangan terhadap amanat konstitusi.
"Hal yang paling mendasar adalah kerugian dan hilangnya kesempatan memperoleh nilai tambah berlipat-lipat dari kegiatan smelting dalam negeri dan hilangnya kesempatan lapangan kerja bagi jutaan rakyat yang saat ini banyak menganggur," kata Marwan.
Ia menambahkan, relaksasi ketentuan hilirisasi dalam Undang-Undang Minerba juga mengurangi kesempatan negara untuk meningkatkan berbagai aspek terkait dengan ekonomi dan keuangan antara lain berupa PDB, PDRB, penerimaan pajak, investasi luar negeri, perputaran kegiatan ekonomi, dan pendapatan masyarakat. Kebijakan relaksasi juga menghambat penyediaan bahan baku industri di dalam negeri yang berakibat terkurasnya devisa untuk melakukan ekspor.
Selain itu, kata dia, dengan terbitnya PP Nomor 1 Tahun 2017, waktu relaksasi yang diberikan guna menunggu terbangunnya smelter lebih lama, yakni 5 Tahun. Kebijakan relaksasi ekspor konsentrat pun telah memberikan sinyal buruk bagi investasi pembangunan smelter dan iklim investasi secara keseluruhan.
"Pemerintah yang demikian proaktif menarik minat investor berinvestasi dengan mengefisienkan sistem perizinan melalui BKPM, tapi pada saat yang sama menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017, pemerintah pula yang mendemonstrasikan ketidakpastian hukum. Tak heran jika minat investasi smelter akhir-akhir ini menjadi berkurang," ucapnya.
IRESS berharap KMS dapat memenangkan gugatan di MA sehingga relaksasi ekspor mineral dapat dihentikan. Namun IRESS menganggap penting untuk mengingatkan pemerintah agar bersikap sesuai dengan konstitusi dan mengutamakan kepentingan negara karena amanat konstitusi dan rakyat tidak boleh dikorbankan atas alasan apa pun. "Jangan ada negosiasi dan kompromi dalam ruang-ruang gelap minus transparansi, apalagi ketundukan kepada asing dan para pemburu rente," katanya.
DESTRIANITA