TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, mengatakan penurunan nilai ekspor merupakan suatu hal yang berbahaya. Ia melihat ada penurunan nilai ekspor sebesar 50 persen dibandingkan pada empat tahun lalu.
"Empat tahun lalu berhasil capai US$ 200 miliar sekarang hampir US$ 117 miliar, separuh tergerus, ini gawat," kata Didik Rachbini saat ditemui di IPMI Business School, Jakarta Selatan, Rabu, 19 Juli 2017.
Didik menuturkan nilai ekspor merupakan tanda pemerintahan yang hidup. Saat ini, ia melihat ada dekonsumsi dan deeskpansi yang dilakukan pemerintah. "Itu menunjukkan pemerintah tidak mengerjakan pekerjaannya untuk bersaing di tingkat internasional."
Menurut Didik hal ini berdampak kepada penerimaan pajak yang kesulitan. Jika sudah berdampak kepada penerimaan pajak, maka akan berdampak pula kepada penerimaan APBN. "Makanya pertumbuhan sekarang stagnan di bawah 5 persen. Janji kampanye 7 persen. Tagih dong."
Didik mengungkapkan Menteri Perdagangan jangan hanya memikirkan soal harga, karena pekerjaannya banyak seperti memenangkan persaingan di pasar ekspor. Ia melihat orang-orang yang dulu menjabat posisi Mendag sudah berhasil mendorong pencapaian ekspor US$ 200 miliar.
Pemerintah, kata Didik, harus bisa mengembalikan nilai ekspor seperti dahulu. Kalau dibiarkan turun, maka indikator kegagalan kebijakan industri dan perdagangan semakin nyata. Alasan seperti penurunan harga komoditas primer harusnya tak menjadi alasan penurunan ekspor. "Ekspornya jangan primer tapi industri."
DIKO OKTARA