TEMPO.CO, Jakarta - Penguatan nilai tukar rupiah diprediksi akan dibayangi sentimen negatif akibat tensi politik yang meningkat.
Hal ini sehubungan dengan penetapan status tersangka terhadap Ketua DPR Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk kasus mega korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP). Adapun kurs rupiah pada perdagangan Senin kemarin tercatat ditutup pada level 13.314 per dolar AS.
“Sentimen negatif politik masih berpotensi naik sehingga bisa membatasi ruang penguatan rupiah,” ujar Analis Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, dalam keterangan tertulis, Rabu, 19 Juli 2017. Di sisi lain, menurut dia rupiah masih diuntungkan oleh pelemahan dolar, begitu juga kurs negara lain di Asia.
Rangga menuturkan harga komoditas yang membaik juga akan menjaga ekspektasi surplus perdagangan yang melebar. Selanjutnya, penurunan yield obligasi global diperkirakan terus menularkan sentimen positif terhadap Surat Utang Negara (SUN).
“Bahkan melampaui sentimen negatif dari pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan,” katanya.
Sementara itu, indeks dolar AS dilaporkan semakin terpuruk pasca inflasi barang impor AS yang anjlok. Rangga berujar tekanan kenaikan harga yang melunak di AS masih menjadi faktor utama yang menekan kurs dolar AS serta yield US Treasury. Tekanan terhadap yield US Treasury juga datang dari status belum diterimanya Undang-Undang Jaminan Kesehatan Presiden AS Donald Trump. “Data perumahan AS menjadi fokus pada Rabu malam, diperkirakan sedikit membaik.”
Rangga, rupiah diprediksi masih akan menguat di perdagangan hari ini masih menguat pelemahan dolar di pasar global.
GHOIDA RAHMAH