TEMPO.CO, Jakarta - PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau Pelindo II masih melanjutkan kontrak pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) bersama Hutchison Port Holdings, meski Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah menyatakan kerja sama tersebut merugikan negara.
Direktur Utama Pelindo II Elvyn Masassya mengatakan kontrak ataupun kegiatan dalam kerja sama tersebut tidak terganggu. “Kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham belum memerintahkan evaluasi kerja sama ini,” kata Elvyn seperti dikutip dari Koran Tempo, Rabu, 12 Juli 2017.
Dalam audit investigasi yang rampung bulan lalu, BPK menyatakan kerja sama pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) antara Pelindo II dan Hutchison, yang terjalin sejak 2014, berpotensi merugikan negara hingga Rp 4,08 triliun. BPK mendapati indikasi penyimpangan perjanjian kerja sama lantaran perjanjian dilakukan tanpa prosedur yang baik, misalnya rapat umum pemegang saham. Kerugian tersebut disebabkan oleh kekurangan pembayaran keuntungan awal (upfront fee) yang seharusnya diterima Pelindo II.
Elvyn enggan mengomentari temuan BPK tersebut. “Itu terjadi pada masa manajemen lama,” ujarnya. Sekretaris Perusahaan Pelindo II, Shanti Puruhita, mengaku belum menerima salinan audit BPK. Sembari menunggu salinan audit ataupun keputusan dari pemegang saham, manajemen Pelindo II bakal mematuhi segala proses. “Bisnis berjalan seperti biasa,” katanya.
Pemerintah pun tak berbicara banyak ihwal nasib kontrak Pelindo II dengan Hutchison. Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Hambra, tutup mulut saat ditanya mengenai hal ini. Begitu pula dengan Menteri BUMN Rini Soemarno yang mengaku belum mendapat salinan hasil audit BPK.
Seperti dikutip dari majalah Tempo edisi Senin, 10 Juli 2017, yang menyetujui kontrak perpanjangan kerja sama itu adalah Rini Soemarno. Rini mewakili pemerintah sebagai pemegang saham di Pelindo II.
Juru bicara BPK, Yudi Ramdan, mengatakan audit investigasi atas Pelindo II bertujuan mengungkapkan penyimpangan dan indikasi kerugian negara dalam kerja sama dengan pihak lain. Masalah pembatalan kerja sama, kata dia, sepenuhnya kewenangan pemerintah. Namun, kata Yudi, kerja sama dapat dibatalkan apabila Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat melakukan upaya tertentu. “Misalnya ada perintah lain setelah mereka menyerahkan hasil audit ini ke lembaga penegak hukum,” ucapnya.
Namun mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara, Said Didu, mengatakan kecil kemungkinan pemerintah bakal membatalkan kontrak Pelindo II dengan Hutchison. Menurut dia, di luar hasil audit terhadap pelanggaran administrasi, kerugian Rp 4,08 triliun hanya bersifat asumsi.
Hasil investigasi BPK, kata dia, belum menghitung keuntungan yang bakal didapat hingga 2039. “Akan menjadi perdebatan besar, salah-salah pihak ketiga yang hendak terlibat dalam kontrak kerja sama dengan BUMN menjadi malas berinvestasi.”
PUTRI ADITYOWATI | DIKO OKTARA