TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi usul dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperlebar batasan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi lebih dari 3 persen.
Menurut Sri Mulyani, batasan defisit yang diatur dalam undang-undang telah sesuai. "Untuk ekonomi Indonesia saat ini, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan defisit yang dijaga di bawah 3 persen, itu telah memberikan keseimbangan yang cukup baik," kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 11 Juli 2017.
Sri Mulyani menjelaskan, dengan batasan defisit 3 persen, pemerintah dan DPR dituntut menjaga disiplin fiskal. "Defisit kan dibiayai oleh utang, dan utang sebaiknya dipakai untuk belanja yang sifatnya produktif," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Wacana pelebaran defisit anggaran kembali muncul dalam rapat pembahasan asumsi rancangan APBN Perubahan 2017, Senin, 10 Juli 2017. Sejumlah anggota DPR mempertanyakan defisit rancangan APBN Perubahan yang nyaris mendekati batas maksimal.
Anggota Komisi Keuangan DPR, Andreas Edy Susetyo, berujar, batasan defisit anggaran 3 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara terlalu rendah dan berisiko membelenggu target pembangunan. Apalagi, selama ini, penerimaan pajak selalu berada di bawah target.
Baca Juga:
Penerimaan pajak yang rendah itu, menurut politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut, membuat pemerintah terpaksa menekan belanja. "Mengapa tidak melebarkan defisit menjadi maksimal 5 persen untuk lima tahun, misalnya," kata Andreas.
Dalam rancangan APBN Perubahan 2017, pemerintah mengusulkan defisit keuangan mencapai 2,92 persen atau sekitar Rp 397,2 triliun. Namun, apabila realisasi belanja pemerintah alamiah mencapai 96 persen, defisit akan berada di level 2,67 persen atau Rp 362,9 triliun.
Sri Mulyani menuturkan, jika ingin berbelanja dengan lebih banyak, pemerintah harus mampu mengumpulkan penerimaan yang lebih tinggi. "Bukan dengan melebarkan defisit. Karena itu, kami akan terus memperbaiki dengan reformasi perpajakan," katanya.
Sri Mulyani menerangkan, reformasi perpajakan diperlukan sehingga pemerintah bisa membiayai belanja berbagai kebutuhan yang mendesak dan penting tanpa membahayakan kondisi fiskal. "Dan tanpa meningkatkan beban untuk anak cucu kita dengan utang," ujarnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani melanjutkan, dalam beberapa tahun terakhir masih ada anggaran belanja yang belum terserap. "Kalau (defisit) dinaikkan tapi tidak ada perencanaan matang, yang terjadi APBN besar tapi penyerapan tidak tinggi."
Penyerapan anggaran yang rendah akan menimbulkan peningkatan beban utang dan biaya utang. Selain itu, kata dia, hal tersebut dapat memicu kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah tidak melakukan tugasnya untuk membuat perencanaan penganggaran dengan baik.
"Menurut saya, dengan pengalaman kita mengelola APBN selama ini, defisit anggaran 3 persen masih bisa mengakomodasi kebutuhan Indonesia menjalankan berbagai macam program, apakah itu infrastruktur atau investasi sumber daya manusia," ujar Sri Mulyani.
ANGELINA ANJAR SAWITRI