TEMPO.CO, Semarang - Sejumlah investasi sektor industri manufaktur dari asing yang membuka pabrik di Kabupaten Jepara dinilai mengancam sektor pertanian di daerah setempat. Investasi industri untuk produk garmen, seperti sepatu dan pakaian, dinilai banyak melanggar izin dan pembangunan yang justru mematikan sistem irigasi. Selain itu, ada temuan pencemaran limbah cair yang mulai mencemari aliran sungai yang selama ini untuk kebutuhan hidup.
“Ada tiga perusahaan asing dengan ribuan karyawan di sejumlah kampung kami yang secara nyata mematikan sektor pertanian lokal,” kata Santoso, Kepala Desa Gemulung, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jumat, 30 Juni 2017.
Simak: Pemain Asing Monopoli Bisnis Mebel di Jepara?
Ia menyebutkan terdapat PT Hwa Seung Indonesia asal Korea yang dibangun di antara batas Desa Gemulung, Kecamatan Pecangaan, dan Banyuputih, Kecamatan Kalinyamat, serta PT Jiale Indonesia Textile asal Cina dan PT Samwon, yang masing-masing memproduksi garmen di Dukuh Kalisari, Desa Gemulung, Kecamatan Pecangaan, dan Desa Damarjati Kecamatan Kalinyamat.
“Perusahaan tersebut telah menutup akses irigasi dan merusak letak geografis desa sehingga petani tak mampu mengairi lahan. Sedangkan musim hujan kena banjir,” ujarnya.
PT Hwa Seung Indonesia merupakan pabrik yang memproduksi sepatu, yang dibangun di lahan seluas lebih-kurang 18 hektare. Ia memastikan pabrik itu tak dilengkapi izin mendirikan bangunan (IMB) dan kelengkapan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Kepastian itu disampaikan karena sebagai petinggi atau lurah ia tak pernah dilibatkan untuk uji operasional dan sosialisasi mengenai amdal.
Ia mengaku kecewa dengan operasional pabrik yang tak dilengkapi izin itu, apalagi keberadaanya mengganggu sektor pertanian milik warga yang kini hanya mampu memproduksi sekali musim tanam.
Sedangkan PT Jiale Indonesia Textile asal Cina dan PT Samwon juga merusak sistem irigasi dan menimbulkan pencemaran. Hal itu dibuktikan dengan pencemaran udara dan air sungai akibat dampak bahan bakar batu bara yang digunakan untuk oven atau pemanas pakaian serta limbah cair sisa pewarna pakaian.
“Limbah debu sisa pembakaran batu bara menimbulkan gangguan infeksi saluran pernapasan atas, sedangkan limbah cair mencemari sungai. Sebab, selain berwarna, (air sungai) juga berbau menyengat,” ucapnya.
Limbah udara dari sisa pembakaran batu bara membuat warga sesak napas karena cerobong tak dilengkapi dengan penyerap debu dan menyebar ke pemukiman sekitar. Sedangkan limbah cair sisa pewarnaan menimbulkan efek sistem pertanian dan peternakan di lima desa yang dialiri sungai asal kampungnya tak bisa melakukan aktivitas peternakan dan pertanian.
Tercatat, ada lima desa di daerah hulu di Kecamatan Pecangan yang terkena efek limbah cair dari aliran sungai yang terkontaminasi itu. Desa itu adalah Karangrandu, Pecangaan, Pulaudarat, dan Rengring, yang mulai memprotes keberadaan limbah sungai.
“Warga desa itu tak mampu memenuhi kebutuhan air untuk kerbau dan lahan pertanian,” katanya.
Selain itu, pembangunan fisik pabrik di dua lokasi itu merusak sistem irigasi yang selama ini digunakan untuk pengairan dan pengendali tata kelola air dari suplai Pintu Air Sipandan, Desa Geneng. Keberadaan dua saluran irigasi antara atas dan bawah, yang masing-masing berada di depan dan belakang pabrik, tertutup bangunan tanpa pengganti. Efeknya, air meluap saat musim hujan dan kering saat kemarau.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Jepara Fathurrahman membenarkan adanya protes publik terkait dengan kondisi industri yang diduga melanggar itu. Termasuk protes ke PT Hwa Seung Indonesia asal Korea yang belum punya amdal dan IMB karena masih proses perluasan dan sedang pembahasan. “Bulan puasa kemarin masih dibahas,” ujarnya.
Sedangkan pencemaran yang dilakukan PT Jiale belum terbukti karena masyarakat pengadu justru tak datang saat hendak dipertemukan dengan pengelola industri. “PT Jiale dulu diadukan, tapi masyarakat pengadu tak hadir saat kami undang,” ucapnya.
Menurut dia, seharusnya PT Jiale tak membuang limbah ke sungai karena mengaku sudah punya instalasi pengolahan limbah sendiri. “Sedangkan pengawasan ada di provinsi, kami hanya membantu,” tuturnya.
Faturahman meminta publik mengadu jika ada keluhan pencemaran. Ia memastikan akan menindaklanjuti dan bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah.
EDI FAISOL