TEMPO.CO, Jakarta -Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Syarkawi Rauf menilai revisi Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah cukup baik. Apabila RUU itu disahkan maka kekuatan KPPU dalam melakukan tindakan akan lebih baik dari sebelumnya.
Baca: Persaingan Tak Sehat, Denda Pelaku Usaha 30 Persen dari Penjualan
“Untuk jangka pendek, rancangan undang-undang ini sudah cukup baik, bahkan boleh dibilang tahap pertama ini sudah sangat bagus. Mungkin nanti bisa dikembangkan lagi di tahap berikutnya,” katanya kepada Tempo di Kantor KPPU, Juanda, Jakarta Pusat, Selasa, 6 Juni 2017.
Syarwaki menyebutkan KPPU mengajukan beberapa usulan dalam rangka penguatan lembaga ini. Pertama adalah penegasan KPPU sebagai lembaga negara, sebab selama ini KPPU statusnya belum setara dengan lembaga independen lain misalnya KPK. “Kita itu lembaga yang menggunakan uang negara tapi statusnya belum jelas, termasuk dari sisi kepegawaian. Pegawai kami masih tidak jelas statusnya apakah pegawai negeri atau bukan,” ujarnya.
Kedua terkait kenaikan nilai denda yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan persaingan usaha tidak sehat menjadi maksimal 30 persen dari penjualan dalam kurun waktu penjualan pelanggaran yang terjadi. Sebelumnya, denda yang dijatuhkan hanya sebesar maksimal Rp 25 miliar yang dinilai terlalu kecil untuk pelaku kartel. “Negara lain seperti Jepang, Korea, maupun Eropa juga telah menerapkan denda 30 persen. Dengan denda besar itu diharapkan dapat membuat pelaku kartel jera," ucapnya.
Poin denda itu juga berkaitan dengan program pengampunan denda bagi pelaku yang mengaku perbuatannya telah melakukan kecurangan. Bila nilai denda terlalu kecil membuat pelaku tidak merasa takut dan tidak mau mengakui perbuatannya.
“Padahal untuk memberantas kartel i tidak mungkin hanya mengandalkan laporan dan hasil penyelidikan saja. Salah satu yang kita andalkan adalah pengakuan dari pelakunya sendiri,” kata Syarkawi.
Selanjutnya, KPPU juga mengajukan usulan soal perubahan notifikasi merger dari sebelumnya post merger menjadi pre merger. Syarkawi menilai hal ini penting untuk menjamin pengambilalihan maupun penggabungan perusahaan tidak merugikan pengusaha karena KPPU dapat terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap merger itu.
“Kalau sekarang kan merger dulu baru melapor. Ibaratnya seperti menikah dulu dan kalau ternyata pernikahannya enggak bagus baru cerai saja. Itu kan merugikan pelaku usaha,” kata Syarkawi
Poin selanjutnya adalah terkait perubahan definisi pelaku usaha. Selama penindakan hanya dapat dilakukan untuk pelaku usaha di dalam negeri saja. Dengan adanya redefinisi ini, maka KPPU dapat melakukan tindakan kepada pelaku di luar negeri, berkoordinasi dengan otoritas setempat.
Baca: Gandeng Kementerian Keuangan, KPPU Berantas Kartel Pangan
“Sekarang kan kita sudah memberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean yang bersifat lintas negara. Maka kejahatannya juga bisa bersifat lintas negara, sehingga kita butuh kerja sama dengan negara lain,” kata Syarkawi.
CAESAR AKBAR|SETIAWAN ADIWIJAYA