TEMPO.CO, YOGYAKARTA – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat 44 persen daratan di Indonesia telah dikapling untuk pertambangan. Pengaplingan dilakukan karena paradigma berpikir pemerintah dan pengusaha adalah pembangunan.
Menurut Jatam, pemerintah menilai sumber daya alam adalah komoditas yang harus diperjualbelikan untuk menumpuk keuntungan. Meski risiko kerusakan lingkungan jangka panjang menjadi ancaman lingkungan.
“Pemerintah obral perizinan pertambangan. Itu yang bikin pengelolaan ruang pertambangan tak pernah selesai,” kata Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah Ismail dalam diskusi Air Sumber Kehidupan di Uwong Coffee di Kledokan, Sleman, Senin, 5 Juni 2017 kemarin.
Baca: Jatam Sebut 1,7 Juta Ton Beras Hilang Akibat Tambang Batu Bara
Kurun 2011-2012, perizinan pertambangan yang telah dikeluarkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) ada sekiar 11 ribu. Saat ini ada sekitar 9.700 perizinan yang 250 di antaranya berupa izin pertambangan batu kapur atau batu gamping yang dikuasai pabrik semen.
Kawasan bentang alam karst yang berada di pegunungan Kendeng utara yang meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah salah satu korbannya.
Simak: KPK Ajak Keroyok Praktek Tambang Nakal
Celakanya, lanjut Merah, selain mengurusi perizinan, Kementerian ESDM juga bertugas menetapkan kawasan bentang alam karst yang dilindungi dan yang tidak berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomer 17 Tahun 2012. Penetapan kawasan itu berdasarkan usulan dari pemerintah pusat, daerah, perguruan tinggi, dan badan usaha.
“Tidak melibatkan partisipasi masyarakat, tetapi malah pengusaha. Bayangkan!” kata Merah.
Padahal, lanjut Merah, warga di kawasan pegunungan kapur akan menjadi korban berlipat ganda. Pertama, lahan garapan hilang karena penambangan untuk semen.
Kedua, debu pabrik semen yang beracun bisa masuk ke dalam aliran darah sehingga membahayakan kesehatan. Ketiga, satu pabrik semen membutuhkan 10-20 juta ton batu bara untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga uap yang mengoperasikan pabrik. “Beranikah pemerintah cabut izin semua dan melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis?” kata Merah.
Menurut Kepala Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta Eko Teguh Paripurna, semestinya kebijakan pembangunan pemerintah berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan, berkeadilan, dan mempertimbangkan risiko bencana. Lantaran risiko akibat kerusakan lingkungan bisa terjadi hari ini atau kapan saja dan di tempat ini maupun di tempat lain.
“Manajemen yang dipakai pemerintah itu manajemen copet. Untung jangka pendek, tidak memikirkan sumber daya alam itu bisa kembali atau tidak,” kata Eko.
Lapiyo, pensiunan tentara yang mendirikan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst (Permak) Gombong, bersama warga mengingatkan keberadaan karst adalah penyimpan sumber air bertahun-tahun lamanya. Lantaran air di dalam pori-pori batu kapur di pegunungan tidak terpapar langsung sinar matahari sehingga tidak cepat menguap.
“Di mana pun, makhluk hidup tanpa air tak bisa hidup,” kata Lapiyo.
Gunretno dari Sedulur Sikep di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati bersama Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang telah menempuh berbagai cara untuk mempertahankan kawasan pegunungan Kendeng Utara terbebas dari eksploitasi pabrik semen sejak 2007.
Tidak hanya kampanye melalui aksi mengecor kaki, tetapi juga menempuh upaya hukum hingga tingkat Mahkamah Agung. “Karena mempertahankan sumber air di pegunungan Kendeng tidak untuk pribadi, tapi kepentingan semua,” kata Gunretno. Dia menyebutkan pegunungan Kendeng Utara meliputi Grobogan, Pati, Rembang, Kudus, Blora, hingga Jawa Timur.
Perkembangan terakhir, hasil pengumuman hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada 12 April 2017 lalu menyebutkan lahan yang akan ditambang seluas 250 hektare di Rembang itu termasuk kawasan cadangan air tanah (CAT) yang memenuhi kriteria kawasan kars yang tidak boleh ditambang.
Namun pabrik semen tetap ngotot beroperasi. Dan pada 9 Juni 2017 mendatang, Gunretno akan diundang Badan Geologi yang akan mengumumkan temuan kawasan kars Kendeng.
“Kami inginkan kejujuran sesuai faktanya,” kata Gunretno yang berharap generasi muda mengetahui dan berjuang bersama untuk menyelamatkan Ibu Bumi.
PITO AGUSTIN RUDIANA