TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat dilaporkan melemah di pasar Asia dalam perdagangan Senin, 5 Juni 2017. Hal ini menguntungkan rupiah, sekaligus menunjukkan faktor global lebih mendominasi penguatan rupiah. Rupiah kemarin ditutup di posisi 13.287.
Baca: Ketegangan di Teluk Arab Membuat Harga Minyak Melonjak
Analis Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, mengatakan faktor domestik juga tak sepenuhnya buruk. Di antaranya bukti penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan surat utang negara (SUN) yang diiringi aliran dana asing.
"Fokus domestik tertuju pada consumer confidence index, Rabu besok, yang diperkirakan naik. Ruang penguatan rupiah diperkirakan masih terbuka," ujar Rangga dalam keterangan tertulis, Selasa, 6 Juni 2017.
Rangga berujar, yield SUN pada perdagangan kemarin kembali mencoba turun, merespons penurunan yield global. Meskipun inflasi Mei 2017 diumumkan meningkat, proporsi kepemilikan asing tampak konsisten bertambah.
"Namun tekanan inflasi bisa bertambah jika harga BBM yang akan di-review lagi sehabis Lebaran dinaikkan untuk menyesuaikan dengan harga minyak mentah internasional yang sudah tinggi," katanya.
Menurut Rangga, rendahnya yield global akan diuji pada rapat rutin bulanan Bank Sentral Amerika (FOMC Meeting), pekan depan. Jika suku bunga acuan Amerika (Fed Funds Rate) kembali naik dengan Yellen yang lebih hawkish, yield global dipastikan juga turut meningkat, mengikuti kenaikan yield US Treasury.
Baca: Seruan Boikot Ramai di Twitter, Begini Penjelasan Indosat
Sementara itu, pemutusan hubungan diplomatik Arab Saudi dan sejumlah negara lain dengan Qatar dilaporkan sempat mendorong penguatan harga minyak mentah, tapi akhirnya terkoreksi dan berganti menjadi penurunan. Rangga menuturkan, kemungkinan terjadinya pengerahan militer yang dapat mengganggu pasokan minyak dipandang masih lebih kecil dibandingkan dengan kemungkinan dilanggarnya kesepakatan pemangkasan produksi minyak oleh Iran, produsen minyak ketiga terbesar OPEC, yang juga sekutu Qatar.
GHOIDA RAHMAH