TEMPO.CO, Jakarta -Perang tarif telekomunikasi kian hari akan semakin sengit. Setelah Indosat mendeklarasikan menerapkan tarif telpon antar operator (offnet) Rp 1 perdetik, kini XL Axiata mengikuti jejak langkah pesaingnya. Meski XL baru menerapkan di beberapa kota saja, namun langkah yang dilakukan anak usaha Axiata Bhd. tersebut tak menutup kemungkinan akan diberlakukan secara nasional. Sama seperti yang dilakukan Indosat tahun lalu yang dimulai dari beberapa daerah saja.
Baca: Industri Telekomunikasi Perang Tarif, Telepon 1 ...
Perang harga layanan telekomunikasi ini tak hanya di biaya percakapan saja. Namun sudah merambah ke tarif data. Operator Indosat maupun XL memberikan layanan akses gratis kebeberapa aplikasi yang digemari masyarakat Indonesia seperti Youtube, WhatsApp, Facebook dan berbagai konten sosial media serta transportasi online.
Baca: Industri Telekomunikasi Perang Tarif, Telepon 1 Rupiah per Detik
Melihat perang harga yang marak, Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman Republik Indonesia mengatakan, banting-bantingan harga ini disebabkan lemahnya pengawasan yang seharusnya dilakukan regulator telekomunikasi dan pengawas persaingan usaha. Sudah menjadi tugas Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk melakukan pengawasan terhadap tarif promosi yang dikeluarkan oleh operator telekomunikasi. “Bukan malah melakukan pembiaran terhadap promo tarif murah operator,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Senin 29 Mei 2017.
Baca: YLKI: Tarif Internet Sudah Menjurus Kepada Penjebakan Konsumen
Alamsyah juga mengkritisi lambannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam merespon perang harga yang dilakukan operator selular yang saat ini tengah marak. Operator telekomunikasi yang melakukan promo berulang-ulang dan menjual produknya di bawah harga produksinya, seharusnya bisa dijadikan indikasi bagi KPPU untuk menyelidiki adanya pelanggaran persaingan usaha tidak sehat. Pemberian tarif promo yang dilakukan operator telekomunikasi sudah mengarah ke predatory pricing.
Baca: Peretasan Situs Telkomsel, Pemerintah Harus Atur Kualitas Layanan
“Seharusnya peran KPPU yang memiliki kewenangan untuk meneliti ada atau tidaknya tindakkan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat. Pembiaran yang dilakukan oleh KPPU itu yang menurut Ombudsman penting. Sebab itu terjadi mal administrasi yang dilakukan oleh KPPU,” kata Alamsyah.
Leonardo Henry Gavaza CFA, analis PT Bahana Securities, menyayangkan perang harga yang marak dilakukan oleh penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Padahal industri yang padat modal ini belum pulih dari aksi perang harga yang dilakukan oleh operator telekomunikasi di tahun 2008 yang lalu.
Sebenarnya ruang untuk menurunkan tarif layanan telekomunikasi sudah tidak ada. Jika XL dan Indosat terus melakukan perang harga seperti sekarang ini, Leo bisa memastikan profitabilitas perseroan akan semakin terpuruk. Jika profitabilitas terganggu dipastikan akan berdampak serius kepada revenue dan net profit. Revenue dan net profit perseroan akan kembali terpuruk. Terlebih lagi tarif data dan telpon yang dijual oleh operator saat ini sudah terbilang sangat murah.
“Jika Telkomsel sampai terpancing untuk menurunkan tarifnya kemungkinan Indosat dan XL bisa mati. Jika Indosat dan XL mati maka dominasi Telkomsel akan semakin kuat lagi yang ujungnya industri telekomunikasi nasional yang terpuruk,” kata Leo.
Memang dalam jangka pendek perang harga seolah-olah menguntungkan konsumen. Konsumen akan mendapatkan tarif yang murah. Selain itu rapor manajemen kepada pemegang saham juga tampak kinclong. Ini disebabkan meningkatnya jumlah market share.
“Namun jangka panjang akan merusak industri telekomunikasi. Tak menutup kemungkinan pesaing Indosat juga akan melakukan hal yang sama. Jika ini sampai terjadi maka margin keuntungan akan tergerus dan industri telekomunikasi yang tahun lalu bisa tumbuh 10 persen kemungkinan tahun ini tak akan tercapai. Bahkan bisa mengalami minus,“ ujar Leo.
Kahlil Rowter, Chief Economist PT Danareksa Sekuritas mengatakan jika operator telekomunikasi kerap menjual layanannya dengan harga promosi dan menerapkan tarif yang murah serta tidak masuk akal, bisa mengakibatkan perusahaan tersebut kesulitan dalam menggembangkan dan menjaga kualitas layanan yang mereka berikan. "Dipastikan kemampuan penyelenggara jasa telpon tersebut akan tergangu. Mereka tak akan lagi mampu untuk membangun, mengembangkan jaringan dan menjaga kualitas layanan," ucapnya.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan tarif telekomunikasi di Indonesia sudah sangat murah. Memang jika dibandingkan dengan negara di Afrika, tarif telekomunikasi di Indonesia terlihat lebih mahal. Namun menurut Tulus, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia, tarif di Indonesia masih lebih murah.
Pernyataan Tulus tersebut bukan tanpa sebab. Data yang dilansir ITU menjelaskan, tarif internet di Indonesia terbilang murah. Harga data di Indonesia di tahun 2015 hanya USD 4,11 untuk setiap 500 mb. jika dibandingkan dengan negara yang memiliki karakter geografis yang sama, layanan data di Indonesia masih lebih murah. Singapura harganya sudah mencapai USD 7,27 per 500 mb. Sementara harga data di Thailand USD 5,81 untuk setiap 500 mb. Sedangkan di Filipina harga layanan datanya mencapai USD 4,37 per 500 mb.
Penurunan tarif data di Indonesia juga terbilang yang tercepat diantara negara-negara di ASEAN. Jika periode 2011 hingga 2016, harga layanan data di Singgapura hanya turun 15 persen , namun di Indonesia penurunannya mencapai 44 persen.
Tulus menilai saat ini persaingan tarif antar operator telekomunikasi di Indonesia sudah sangat ‘liar’. Mereka saling banting harga layanan telekomunikasinya. Meski mereka bersaing, namun disayangkan para operator tidak berkompetisi dalam menjaga coverage dan service level. Bahkan tarif promosi yang diberikan oleh operator sudah menjurus kepada penjebakkan konsumen.
Menurut Tulus, seharusnya masyarakat tidak perlu lagi meributkan masalah tarif. Justru masyarakat harus memikirkan bagaimana kualitas layanan yang diberikan kepada operator. Kualitas tersebut termasuk coverage dan service level.
“Tugas BRTI untuk melakukan pengawasan terhadap coverage dan service level seharusnya regulator bisa memaksa agar operator telekomunikasi yang belum hadir di daerah terpencil, terluar dan dan terdepan. Diharapkan dengan kehadiran lebih dari satu operator, masyarakat memiliki pilihan,”kata Tulus.
SETIAWAN ADIWIJAYA