TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah diprediksi terus menguat karena didukung sentimen global. Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu berada di posisi 13.295. Rupiah masih diuntungkan dengan sentimen dolar Amerika Serikat, yang melemah di pasar global.
Hingga kemarin, dolar dilaporkan masih melemah terhadap mayoritas kurs di Asia. "Fokus perlahan beralih dari kenaikan peringkat utang oleh Standard and Poor (S&P) ke inflasi Mei 2017, yang perubahan tahunannya diperkirakan naik dibanding April 2017," ujar Analis Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, dalam keterangan tertulis, Senin, 29 Mei 2017.
Rangga mengatakan ruang penguatan rupiah diperkirakan masih ada meskipun bisa terbatas oleh kembalinya penguatan dolar menjelang rapat rutin bulanan Bank Sentral Amerika (FOMC Meeting) pada pertengahan Juni mendatang, serta kenaikan inflasi dan impor domestik saat Ramadan.
Yield obligasi global dilaporkan masih mengalami penurunan, dan diperkirakan membuat penguatan surat utang negara (SUN) dapat lebih intensif. "Beberapa yield SUN mulai naik, menandakan euforia kenaikan peringkat utang S&P yang mulai jenuh serta ekspektasi rilis inflasi tinggi Mei 2017, yang mulai terfaktorkan," katanya.
Menurut Rangga, secara umum, permintaan likuiditas rupiah di bulan Ramadan biasanya naik sehingga akan mendorong kenaikan suku bunga jangka pendek. Namun, dari global, yield obligasi diketahui masih turun, terutama di negara maju. Hal ini diperkirakan mampu mengembalikan sentimen penguatan ke SUN meskipun ekspektasi kenaikan suku bunga acuan Amerika (FFR Target), yang masih tinggi, perlu diwaspadai.
Revisi meningkat produk domestik bruto (PDB) Amerika menyebabkan penguatan indeks dolar. Namun harga komoditas yang perlahan kembali kepada tren penguatan serta rilis data ekonomi Amerika, yang kurang begitu meyakinkan, diprediksi akan menjaga dolar, yang tidak terlalu kuat. "Senin malam, consumer confidence index Amerika ditunggu dan diperkirakan turun tipis," katanya.
GHOIDA RAHMAH