TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS) Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Iwan Himawan menilai pemberian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi usaha perkebunan kelapa sawit belum mampu menyelesaikan persoalan. “Laju pemberian sertifikasi ISPO berbanding terbalik dengan perbaikan nyata tata kelola industri kelapa sawit,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 18 Mei 2017.
Baca: Sri Mulyani Minta Industri Sawit Sumbang Pendapatan Negara
Iwan menjelaskan, sejak pemberlakuan ISPO pada Maret 2011 hingga Februari 2016, sudah ada 225 sertifikat ISPO yang telah diberikan pemerintah. Pemberian itu mencakup lahan seluas 1,4 juta hektare dan crude palm oil (CPO), yang tersertifikasi, mencapai 5,9 juta ton per tahun. Bahkan penerbitan sertifikasi ISPO meningkat signifikan dalam rentang waktu satu tahun, Februari 2016-2017, sebesar 290 persen dari rata-rata persentase penerbitan sertifikat ISPO per tahun sejak 2011.
Iwan mengatakan, meski ada peningkatan penerbitan ISPO, masalah tetap ditemui, khususnya di Kalimantan. Industri sawit Kalimantan tidak terbebas berbagai persoalan praktik yang tidak ramah lingkungan, rawan perampasan lahan, pelanggaran hak, baik terhadap pekerja maupun masyarakat di sekitarnya, serta perubahan sosial dan budaya.
Menurut Iwan, sejumlah masalah masih muncul dari usaha perkebunan kelapa sawit. Permasalahan itu di antaranya legalitas yang menyangkut izin hak guna usaha (HGU) atau izin usaha perkebunan (IUP) di kawasan hutan dalam kaitannya dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), terbitnya izin-izin melalui praktik non-prosedural, izin limbah bahan beracun dan berbahaya, dan penanaman sawit di garis batas sungai.
Iwan menambahkan, persoalan sosial juga muncul, yaitu minusnya keberpihakan kepada petani kecil sehingga posisi tawarnya sebagai mitra kian lemah di hadapan industri sawit. Termasuk gagalnya penyejahteraan dan pemenuhan hak-hak para petani. “ISPO belum memberikan perubahan berarti,” ucapnya.
Iwan berujar industri perkebunan sawit merambah Kalimantan sejak 1980. Dengan adanya berbagai masalah itu, pemerintah menginisiasi adanya sertifikasi ISPO pada 2011. Pada 14 April 2016, pemerintah menyatakan moratorium terhadap usaha perkebunan sawit dengan harapan membenahi industri sawit menuju keberlanjutan lingkungan serta menyejahterakan petani dan pekerja sawit.
Pada Juni 2016, Kementerian Koordinator Perekonomian akhirnya membentuk Tim Penguatan ISPO melalui Surat Keputusan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 54 Tahun 2016 tentang Tim Penguatan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO Certification System). Kegiatan utamanya adalah menyusun sistem ISPO yang memiliki kredibilitas lebih.
Iwan menilai tujuan utama pembentukan tim tersebut adalah membenahi secara mendasar sistem sertifikasi dan standardisasi industri kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia. Hingga akhir Desember 2016, Tim Penguatan ISPO telah menyelenggarakan serangkaian diskusi terbatas dengan para pemangku kepentingan untuk mendorong dan merumuskan fokus rancang ulang ISPO.
Baca: Kadin dan Delegasi AS Bahasa Polemik Kelapa Sawit dan Biodiesel
Pada Mei 2017, tim juga sudah memulai rangkaian konsultasi publik di lima kawasan. Konsultasi pertama di wilayah Sumatera, lalu Kalimantan. Iwan berharap ada perombakan sistem sertifikasi ISPO. “Negara harus mendorong strategi penerapan ISPO dalam rangka pemberdayaan petani pekebun mandiri dan memperkuat perkebunan rakyat,” ujarnya
DANANG FIRMANTO