TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Kontraktor Hulu Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Indonesia Petroleum Association/IPA) meminta pemerintah memperjelas skema bagi hasil setelah penerapan skema gross split atau bagi hasil kotor. Menurut Presiden IPA, Christina Verchere, skema gross split tidak bisa diterapkan ke semua blok migas.
"Harus ada pembicaraan pada proyek-proyek tertentu, juga terhadap proyek yang sedang berjalan," kata Verchere dalam pembukaan IPA Convention and Exhibition (IPA Convex) 2017 di Jakarta Convention Center, Rabu, 17 Mei 2017.
Menurut Verchere, kepastian bagi hasil menjadi syarat mutlak bagi kontraktor hulu migas untuk memutuskan rencana penanaman modal. Tanpa bagian yang menguntungkan, kontraktor sulit memperluas eksplorasi dan pengeboran, terutama untuk sumur-sumur baru.
Baca: Pengamat Usulkan Pemerintah Benahi Skema Gross Split
Verchere mengatakan saat ini harga minyak sulit kembali melampaui US$ 100 per barel seperti pada akhir 2014 lantaran pasokan yang berlebih. Karena itu, kontraktor terpaksa melakukan efisiensi biaya operasi. Namun, kata dia, upaya kontraktor tersebut harus didukung pemerintah melalui reformasi birokrasi.
Research Director Asia-Pacific Upstream Oil and Gas dari Wood Mackenzie, Andrew Harwood, mengemukakan sistem bagi hasil baru menjadi pertimbangan bagi kontraktor untuk melanjutkan investasi dan aktivitasnya di Indonesia, khususnya eksplorasi.
Berdasarkan kajian Wood Mackenzie, penemuan cadangan migas akan sulit berjalan dengan bagi hasil kotor lantaran kontraktor harus menunggu lama supaya untung. Adapun bagi lapangan migas produktif, sistem baru bisa menguntungkan kontraktor selama biaya operasinya efisien. Harwood menambahkan, nilai bagi hasil bukanlah masalah selama investor diberikan kenyamanan berbisnis.
Simak: Aspek Ini Membuat Skema Gross Split Kurang Menarik
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan skema gross split harus diterapkan supaya bisnis hulu migas lebih efisien. Saat ini, porsi penggunaan energi dari minyak bumi semakin berkurang lantaran peningkatan pemakaian setrum dan energi terbarukan. Tanpa pemakaian teknologi ramah biaya, perusahaan migas tidak akan berkembang.
Dia juga meminta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) bekerja lebih cepat mendampingi operasi perusahaan. "Industri ini, bukan cuma SKK Migas, trennya suka telat," kata Jonan.
Regulasi gross split diatur dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 8 Tahun 2017. Bagi hasil minyak antara negara dan kontraktor mencapai 57 persen dan 43 persen. Sedangkan untuk gas, porsi negara sebesar 52 persen dan kontraktor mendapat 48 persen.
Angka ini menurun dibanding kontrak bagi hasil konvensional, dengan bagian minyak pemerintah mencapai 85 persen dan gas sebanyak 65 persen. Bagian untuk kontraktor bisa bertambah maksimal 5 persen jika pengembangan lapangan tidak ekonomis. Namun, jika produksi melimpah dan harga melampaui US$ 85 per barel, negara mendapat tambahan hasil migas sebesar 5 persen.
Sebanyak enam kontrak jual-beli gas bumi ditandatangani dalam pembukaan IPA Convex 2017. Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan kesepakatan ini diperkirakan akan menyumbang tambahan penerimaan negara US$ 5 miliar selama periode kontrak. Semua gas dalam kesepakatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik.
DESTRIANITA | ROBBY IRFANY