TEMPO.CO, Jakarta - Eni Muara Bakau BV melaporkan produksi pertama lapangan gas Jangkrik di Blok Muara Bakau, Selat Makassar, Kalimantan Timur, mulai Senin, 15 Mei 2017. Penyedotan gas laut dalam ini lebih cepat dari target semula, yaitu pada Juni 2017. "Dimulainya produksi lebih cepat dari target mengukuhkan strategi dan kemampuan kami," kata Kepala Eksekutif Eni, Claudio Descalzi, Selasa, 16 Mei 2017.
Gas dari lapangan ini diolah oleh kilang Jangkrik, yang memiliki kapasitas hingga 450 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dan kondensat sebanyak 4.100 barel per hari. Kilang terapung berbentuk kapal berukuran 200 x 46 x 40 meter ini diklaim pemerintah sebagai fasilitas pengolahan minyak dan gas terbesar di Indonesia.
Baca: Menteri Jonan Gagal Paham Biaya Produksi Gas Naik, Produksi Turun
Kilang terapung ini bakal menyokong produksi minyak dan gas dari proyek gas laut dalam (Indonesia Deepwater Development) Eni di seluruh Blok Muara Bakau, sekitar 70 kilometer dari garis pantai Kalimantan Timur. Gas bakal disedot kontraktor asal Italia ini dari 10 sumur produksi, yang terhubung oleh pipa bawah laut sepanjang 79 kilometer.
Descalzi mengatakan, hasil produksi kilang ini bakal dimanfaatkan oleh pengguna domestik di Kalimantan Timur dan kilang gas alam cair (LNG) di Bontang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga memberi jatah gas domestik untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero).
Eni berencana memakai fasilitas Jangkrik untuk menghubungkan gas yang disedot dari Lapangan Merakes di Blok East Sepinggan, Selat Makassar, ke Kilang Bontang di Kalimantan Timur. Perusahaan ini mengantongi 85 persen saham, sementara sisanya dimiliki PT Pertamina (Persero). Dengan potensi gas sebanyak 2 triliun kaki kubik (TCF), Lapangan Merakes bakal berproduksi pada 2019.
Simak: Blok Muara Bakau Awali Produksi pada 2017
"Kami juga akan menggabungkan strategi eksplorasi dan model operasional dekat lapangan serta memaksimalkan pengembangan terintegrasi," tutur Descalzi.
Eni menyelesaikan fasilitas pengolahan gas terapung (floating processing unit/FPU) Jangkrik pada akhir Maret lalu. Biaya produksi kilang terapung ini turun dari US$ 4,5 menjadi US$ 4,2 miliar.
Menteri Energi Ignasius Jonan sebelumnya mengapresiasi kontraktor tersebut atas selesainya pembangunan kapal yang lebih cepat setahun dari jadwal. Dia meminta Eni turut menggabungkan fasilitas pengolahannya dengan lapangan yang dikelola kontraktor lain untuk menekan biaya.
Kontraktor yang bisa menjadi mitra potensial adalah Chevron Indonesia Company, yang juga mengelola proyek IDD Bangka dan Gendalo-Gehem. Adapun Eni memiliki 20 persen saham dalam proyek Bangka. Jonan juga meminta Eni bisa memperbesar kapasitas kilang menjadi 800 MMSCFD.
"Mudah-mudahan proyek IDD yang dikerjakan Chevron bisa menggunakan fasilitas FPU ini. Jadi, tidak usah memba-ngun lagi," ujar Jonan.
Pemerintah meneken kontrak proyek Jangkrik bersama Eni pada 2002. Eni baru menemukan gas pada 2009 di garis sumur Jangkrik-1, yang disusul penemuan kedua pada 2011. Proyek gas ini terdiri atas dua dokumen pengembangan (plan of development/POD) terintegrasi, yang disetujui pemerintah pada 2011 dan 2013.
Saham proyek gas Jangkrik saat ini dimiliki Eni Muara Bakau sebesar 55 persen. Sisanya dimiliki Engie E&P dan PT Saka Energi Muara Bakau ma-sing-masing 33,3 persen dan 11,7 persen.
ROBBY IRFANY