TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa pagi, 9 Mei 2017, bergerak melemah 16 poin menjadi Rp 13.311, dibanding sebelumnya pada posisi Rp 13.295 per dolar Amerika Serikat.
"Nilai tukar rupiah melemah. Sebagian investor cenderung melakukan aksi ambil untung menyusul penguatan pada hari sebelumnya," kata Analis Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, di Jakarta, Selasa, 9 Mei 2017.
Baca: Kurs Rupiah Stabil, Pasar Tunggu Keputusan The Fed
Kendati demikian, menurut dia, penurunan nilai tukar domestik itu dinilai masih temporer mengingat sejumlah data ekonomi yang telah dirilis mencatatkan pertumbuhan, seperti cadangan devisa Indonesia dan pertumbuhan ekonomi nasional triwulan I 2017.
Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2017 sebesar US$ 123,2, lebih tinggi dibandingkan dengan posisi akhir Maret lalu US$ 121,8 miliar.
Baca: Data Ekonomi Positif, Kurs Rupiah Ditutup Menguat
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia pada triwulan I 2017 tumbuh 5,01 persen atau tumbuh lebih baik secara tahunan (yoy) dari triwulan I 2016, yang tumbuh 4,92 persen dan secara triwulanan (qtq) dari triwulan IV 2016 sebesar 4,94 persen.
"Sentimen dari dalam negeri itu akan menjaga fluktuasi mata uang rupiah bergerak di kisaran stabil sesuai dengan fundamentalnya," katanya.
Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih, menambahkan, dengan posisi cadangan devisa yang naik itu, maka Bank Indonesia akan mempunyai amunisi yang sangat cukup untuk menjaga stabilitas rupiah dan mestinya juga bisa membantu penguatan nilai tukar rupiah dari posisi saat ini.
Di sisi lain, kata dia, potensi penguatan rupiah juga akan terbantu dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah dunia jenis WTI crude pada Selasa, 9 Mei 2017, pagi ini terpantau naik 0,09 persen ke posisi US$ 46,47 per barel, dan Brent crude menguat 0,10 persen ke level US$ 49,39 per barel.
ANTARA