TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng berujar permasalahan struktural membuat daerah rentan terhadap masalah pangan. Karena itu, strategi ketahanan pangan harus menyeluruh dan menyentuh aspek produksi, infrastruktur, distribusi logistik, hingga aspek struktur pasar.
"Kita tidak hanya mengandalkan kebijakan sektoral, tapi juga reformasi pangan, yakni solusi terintegrasi dari produsen, sistem distribusi, tata niaga, sampai konsumen," katanya di Kompleks BI, Jakarta, Senin, 8 Mei 2017.
Baca: Cara Jawa Barat Mengatasi Musim Krisis Cabai
Menurut Sugeng, strategi reformasi pangan dilakukan dengan meningkatkan aspek kelembagaan produsen, memperbaiki distribusi, dan menjaga kecukupan pasokan. "Meningkatkan aspek kelembagaan bisa dilakukan dengan pembentukan corporate farming, mendorong petani bergabung dalam badan usaha milik petani," ucapnya.
Baca: 11 Orang Meninggal Akibat Krisis Pangan di Papua
Metode tersebut, kata Sugeng, telah diterapkan di Sukoharjo, Jawa Tengah, dan Sleman, Yogyakarta. Petani yang tergabung dalam badan kerja sama itu memiliki akses terhadap pembiayaan bank. "Hingga kini, baru 15 persen petani yang memiliki akses terhadap pembiayaan bank. Ini jumlah yang cukup kecil," ujarnya.
Sugeng menilai upaya memperbaiki distribusi pangan juga merupakan sebuah keharusan. Perbaikan distribusi pangan dimulai dengan perbaikan infra, pengaturan tata niaga, dan pemberdayaan pasar induk. "Hingga kini, hanya 10 persen pasar induk yang berfungsi sebagai pasar induk sesungguhnya," tuturnya.
Adapun upaya untuk menjaga pasokan, menurut Sugeng, satu-satunya jalan adalah melakukan impor. Namun impor bahan pangan yang benar-benar diperlukan masyarakat. "Kalau semua impor, akan memberikan implikasi terhadap ketahanan, seperti pada cadangan devisa. Selama ini, masalah impor adalah timing yang salah dan prosedur yang terlalu panjang," katanya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI