TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) timbul di tataran pelaksanaan, bukan kebijakan. Karena itu, pihak yang bertanggung jawab adalah pelaksana kebijakan.
"Yang salah bukan pengaturannya, tapi pelaksanaannya," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, hari ini, Selasa, 2 Mei 2017.
Baca: Victoria Indonesia Kecewa Jaksa Mangkir dalam Sidang Praperadilan
Komisi Pemberantasan Korupsi sedang menyidik dugaan kasus korupsi BLBI dengan tersangka Syafruddin A. Tumenggung. Kasus BLBI ini ditaksir menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun.
"Hasil restrukturisasi adalah Rp 1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan. Sedangkan yang Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi, sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan," kata Basaria Pandjaitan, Wakil Ketua KPK, di kantornya, Jakarta, Selasa, 25 April 2017.
Baca: Penetrasi Perbankan di Indonesia 30 Persen
Basaria menjelaskan, kasus itu berawal ketika Syafruddin menjabat Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada April 2002. Lalu, pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan atas proses likuidasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun, pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL (surat keterangan lunas/release and discharge) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia yang memiliki kewajiban kepada BPPN. "Padahal seharusnya waktu itu ada kewajiban Sjamsul yang saya sebutkan tadi," ujar Basaria.
Baca: Pemerintah Telusuri Aset Bermasalah Eks BPPN
Kalla menerangkan, pihak yang bertanggung jawab dalam kasus BLBI adalah pejabat yang mengeluarkan aturan clear and clear atau release and discharge (surat keterangan lunas). Obligor BLBI dianggap lunas, padahal mereka belum melunasi kewajibannya. Seharusnya pemutihan dilakukan setelah obligor melunasi utangnya.
Kasus BLBI, menurut Kalla, berakar dari satu hal yakni kebijakan blanket guarantee (jaminan penuh pemerintah pada bank). Blanket guarantee ini dilakukan pemerintah saat menghadapi krisis moneter sekitar 1998. "Itu awalnya, sehingga terjadi kebocoran yang luar biasa, akibat blanket guarantee itu, dan sekarang kita tanggung semuanya," kata Kalla.
AMIRULLAH SUHADA | GRANDY AJI