TEMPO.CO, Semarang - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah mengakui terlambat mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pembangunan Industri sebagai turunan Rencana Induk Pembangun Industri (Ripin) pemerintah pusat. Keberadaan perda yang bersifat mandataris itu seharusnya sudah diberlakukan pada akhir 2016 lalu sesuai dengan periode program Ripin 2015-2035.
“Seharusnya tahun lalu,” kata anggota Komisi Perekonomian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah, Ferri Firmawan, Rabu, 26 April 2017.
Baca: Jateng Sahkan Perda Pembangunan Industri Provinsi
Ferri mengaku terlambat karena banyak rancangan peraturan daerah (raperda) yang harus dibahas. “Karena startnya (awal pembahasan) terlambat. Tiba-tiba ada revisi Prolegda (Program Legislasi Daerah), dan ternyata Rancangan Perda Pembangunan Industri masuk,” ujarnya.
Padahal, menurut Ferri, Perda Pembangunan Industri Provinsi Jawa Tengah juga merujuk Perda Tata Ruang yang belum dibahas. Hal itu sempat menjadi perdebatan di kalangan anggota panitia khusus yang membahas Perda Industri.
Dewan Jawa Tengah akhirnya mengesahkan Perda Pembangunan Industri Provinsi pada Selasa 25 April 2017. Perda itu akan diikuti dengan kebijakan rencana pembangunan industri di masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Perda yang memasukkan kualifikasi semua industri dengan beragam ketentuan, salah satunya industri telematika yang memproduksi gambar dan film, bertujuan mengatur industri dari efek negatif serta fungsi secara maksimal.
Di sisi lain, Ferri menyebutkan perda itu memberikan kepastian kepada pelaku industri serta mengurangi kemiskinan dan angka pengangguran. Perda yang disahkan itu banyak mengupas industri padat karya yang memerlukan tenaga dan modal berskala besar. Industri itu dinilai selaras dengan aturan yang baru disahkan untuk mengontrol beban pajak dan efek pencemaran.
Simak: Jawa Tengah Percepat Pembangunan Proyek Infrastruktur
Ferry menyebutkan perda yang baru disahkan itu hanya beberapa lembar. Namun halaman penjelasan pasal demi pasal lebih banyak. “Soal pasal tak sebanyak perda lain. Simpel, tapi penjelasan detail,” katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Frans Kongi mengaku belum pernah diajak berdiskusi membahas Perda Pembangunan Industri. Meski begitu, ia berharap isi perda itu sesuai dengan keinginan para pelaku industri di Jawa Tengah. “Saya baru tahu karena sebelumnya tak pernah diajak bicara,” ucapnya.
Frans berharap perda itu mengatur secara rinci perlindungan investasi di Jawa Tengah yang dinilai belum maksimal. Ia mencontohkan perlindungan yang dibutuhkan, di antaranya kesediaan lahan industri infrastruktur bahan baku. “Kalau kami butuh kawasan, ya, dibantu dibebaskan,” ujarnya.
Frans menyebutkan industri di Jawa Tengah terhambat pasar internasional dan suku bunga bank yang masih tinggi. “Kami masih bersaing keras berebut pasar, tapi suku bunga bank masih 13 persen,” tuturnya.
EDI FAISOL