TEMPO.CO, Jakarta - Industri kreatif pada tahun lalu menyumbang sekitar Rp 800 triliun atau 8 persen dari total produk domestik bruto (PDB), dengan pertumbuhan lima persen setiap tahunnya.
Selain menyumbang PDB nasional, menurut Fadjar Hutomo, Deputi Akses Permodalan Badan Ekonomi Kreatif, industri kreatif merupakan sektor keempat terbesar yang menyerap tenaga kerja. "Ekonomi kreatif semakin mendapat perhatian utama di banyak negara, karena dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian," ucap Fadjar dalam keterangan tertulis Kamis 20 Februari 2017.
Baca: Industri Tato Jadi Bidang Ekonomi Kreatif Baru
Melihat potensi yang ada, ucap Fadjar, pemerintah terus mendorong startup untuk terus berkembang. Selain dengan memberikan wadah bagi pemain industri kreatif untuk menuangkan ide-idenya, yang tidak kalah pentingnya adalah pemerataan internet.
"Harus diakui bahwa jaringan internet sangat berperan penting dalam mengenalkan dan memasarkan produk industri kreatif. Pemasaran sistem online memiliki jangkauan sangat luas dan dalam waktu singkat," katanya.
Fadjar menambahkan, pemerataan akses internet menjadi kewajiban Kementerian Komunikasi dan Informatika agar ekonomi yang berbasis digital kreatif ini dapat terus berkembang. Saat ini, ada 16 sub sektor yang akan terus berkembang selama 2015 - 2019, yakni seni pertunjukan, seni rupa, televisi dan radio, aplikasi game, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, periklanan, musik, penerbitan, fotografi, desain produk, fashion, film animasi dan video, kriya, dan kuliner.
Namun sayangnya, akses internet di Indonesia belum tersedia merata ke seluruh wilayah khususnya di daerah pelosok. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, penetrasi internet mayoritas masih berada di Pulau Jawa. Dari survei yang dipresentasikan oleh APJII itu tercatat bahwa sekitar 86,3 juta orang atau 65 persen dari total pengguna internet tahun ini berada di Pulau Jawa. Sedangkan sisanya adalah 20,7 juta atau 15,7 persen di Sumatera. 8,4 juta atau 6,3 persen di Sulawesi. 7,6 juta atau 5,8 persen di Kalimantan. Sekitar 6,1 juta atau 4,7 persen di Bali dan NTB. 3,3 juta atau 2,5 persen di Maluku dan Papua.
Baca: Daya Saing SDM Dunia, Indonesia Kalah Sama Vietnam
Kondisi geografis dan besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membangun akses telekomunikasi di daerah menjadi alasan utama keengganan operator telekomunikasi untuk menghadirkan layanannya di daerah pelosok.
Hanafi Rais Wakil Ketua Komisi 1 DPR mengatakan layanan 4G LTE juga dibutuhkan oleh masyarakat di pedesaan yang memiliki potensi daerah seperti destinasi wisata dan potensi ekonomi agar semakin dikenal di dunia internasional. “Terlebih lagi wisatawan lokal maupun dunia saat ini tengah mencari tempat wisata yang tidak main stream. Saya kira dengan menggunakan media internet 4G LTE hal tersebut bisa dilakukan,” kata Hanafi pada saat peresmian layanan 4G Telkomsel se ibukota kabupaten di NTT belum lama ini.
Dengan layanan 4G LTE, masyarakat dapat merasakan pengalaman mobile digital lifestyle yang sesungguhnya khususnya bagi para pelaku usaha kecil/UKM dapat mulai memanfaatkan teknologi telekomunikasi untuk meningkatkan daya saing serta memperluas jaringan pemasaran. Selain itu manfaat bagi pelanggan lainya untuk melakukan download, upload, atau pun sharing berbagai jenis konten dalam file besar seperti foto, video, games, aplikasi, dan lain sebagainya dengan jauh lebih baik.
Senada dengan ini, beberapa waktu lalu Brahima Sanou dari International Telecommunication Union (ITU) Development Bureau di ajang ITU ICT Summit di Bali menyampaikan bahwa kondisi geografis seharusnya tidak menjadi halangan bagi swasta untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. "Jika pembangunan infrastruktur tidak segera diratakan bagaimana mungkin digital economy bisa terwujud," ucapnya.
SETIAWAN ADIWIJAYA