TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kembali mengevaluasi fasilitas pengurangan pajak penghasilan (PPh) berupa tax allowance dan tax holiday. Evaluasi dilakukan karena penerima fasilitas pajak masih minim.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan pemerintah akan merevisi peraturan tentang pemberian insentif pajak dari definisi, indikator, serta syarat penerima. Pemerintah menemukan sejumlah kasus di mana investor dipersulit dalam proses permintaan keringanan.
Baca: Proyeksi Laba Pabrik Rokok Ini Tembus Rp 6,89 Triliun
“Ini kami evaluasi setiap dua tahun. Itu harus jelas aturannya, sehingga tidak ada lagi yang misalnya mengajukan tetapi ditolak,” kata Mardiasmo, seperti dikutip Koran Tempo edisi Kamis, 20 April 2017.
Mardiasmo menilai pemberian tax allowance dan tax holiday kerap tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Perbedaan definisi tax holiday dan tax allowance pun seringkali multitafsir. Lemahnya koordinasi antarinstansi juga menyulitkan prosedur pengajuan insentif.
Baca: Kelebihan Dewan Komisioner OJK Berlatar Belakang Akuntan
“Kami akan perjelas definisinya, dasar aturan. Kalau aturannya sudah begitu, peraturan pemerintah itu ya kami ikuti. Tapi saya rasa keluar dari aturan main,” kata dia.
Evaluasi peraturan insentif pajak ini terakhir dilakukan dua tahun lalu melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015. Pengurangan penghasilan netto (tax allowance) ditetapkan sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal selama enam tahun, atau per tahun sebesar 5 persen.
Terdapat 145 bidang usaha yang berhak menerima fasilitas ini. Sepanjang 2016, pemerintah menyetujui pemberian tax allowance kepada 18 perusahaan di berbagai sektor. Sementara itu, pengurangan pajak penghasilan (tax holiday) diberikan paling banyak 100 persen dari pajak penghasilan badan yang terutang. Namun penerima harus merupakan industri pionir dengan investasi minimal Rp 1 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian, Eddy Putra Irawadi, mengatakan timnya sedang menelusuri kasus perusahaan yang terhambat kendala administrasi dan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia.
Beberapa hambatan yang terungkap adalah waktu pengajuan yang tak sesuai, definisi produksi, hingga definisi izin prinsip. “Ternyata investasinya enggak masuk klasifikasi,” kata Edy.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan lemahnya koordinasi membuat kebijakan ini tampak setengah hati. Menurut dia, Kementerian Koordinator harus mampu memimpin pelaksanaan aturan ini agar fasilitas tampak menarik bagi pengusaha.
“Nyatanya, sudah berikan insentif, tapi (Direktorat Jenderal Pajak) masih ada ketakutan kekurangan penerimaan perpajakan. Semestinya, harus rela berkorban karena untuk jangka panjang,” kata dia.
Yustinus mengatakan pemerintah perlu memperlonggar syarat serta memastikan iklim investasi berjalan mulus. “Dibuat lebih variatif, syarat dipermudah, dan diikuti kemudahan perizinan lewat paket kebijakan ekonomi.”
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menawarkan keringanan pajak bagi industri yang memfasilitasi pengembangan pendidikan kejuruan atau vokasional. Dengan demikian, semakin banyak industri yang dapat menampung lulusan SMK berkualitas. Kementerian menyerahkan waktu implementasi kepada Kementerian Keuangan.
“Mulainya kapan, kami belum tahu,” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan.
GHOIDA RAHMAH | PUTRI ADITYOWATI