TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pelaku usaha minyak sawit bakal membidik pasar baru untuk meningkatkan kinerja ekspor komoditas itu di tengah turunnya permintaan dari sejumlah negara. Ekspor minyak sawit Indonesia termasuk oleochemical dan biodiesel hanya mampu mencapai 2,66 juta ton pada Februrari 2017 atau turun 6 persen dibandingkan Januari 2017 yang mencapai 2,84 juta ton.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat adanya penurunan permintaan minyak sawit nasional ke beberapa negara tujuan pada Februari 2017. Ekspor ke Negeri Paman Sam mencatatkan penurunan permintaan sebesar 46 persen atau dari 100.890 ton pada Januari 2017 tergerus menjadi 54.850 ton pada Februari. 2017
Penurunan juga di beberapa negara Uni Eropa 43 persen, kemudian disusul Pakistan 25 persen dan India 13 persen. Gapki menyebut pelambatan konsumsi masyarakat di India juga berdampak menurunnya permintaan dari negara itu.
Pada periode yang sama, terjadi kenaikkan permintaan di sejumlah negara. Di Timur Tengah, misalnya, terjadi lonjakkan permintaan hingga 116 persen dari 104.090 pada Januari 2017 menjadi 224.730 ton.
Permintaan dari Bangladesh, Cina, dan negara-negara Afrika juga mencatatkan kenaikan. Kenaikan untuk masing-masing negara sebesar 23 persen, 9 persen, dan 3 persen. Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengaku kondisi itu menyebabkan para pelaku usaha untuk mengoptimalkan pasar ekspor baru.
“Kami akan telaah terlebih dahulu mengapa negara-negara itu mengalami penurunan permintaan. Selanjutnya, pasar yang mengalami kenaikkan permintaan akan kami optimalkan,” jelas Fadhil kepada Bisnis, akhir pekan kemarin.
Di sisi lain, Fadhil juga menilai tingginya bea keluar berdampak terhadap kinerja ekspor komoditas itu. Bea keluar yang dikenakan pada Februari 2017 yakni US$18 per metrik ton. Menurutnya, hal tersebut membuat para penghasil minyak sawit menahan penjualan. Sebaliknya, para pedagang juga menahan pembelian mereka.
Gapki juga menyebut saat ini Indonesia sedang berada di musim panen sawit yang rendah. Hal itu terlihat dengan adanya penurunan produksi minyak sawit nasional. Produksi komoditas itu turun sekitar 8 persen dari 2,86 juta ton pada Januari 2017 menjadi 2,6 juta ton pada Februari 2017.
Stok minyak sawit Indonesia pada akhir Februari 2017 tercatat 1,93 juta ton atau turun sekitar 32,5 persen dibandingkan dengan stok Januari 2016 yaitu 2,85 juta ton. “Stok terkikis karena produksi yang masih turun sementara ekspor masih tinggi meskipun mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya,” jelas Fadhil.
Di sisi lain, Kementerian Perdagangan menyatakan akan terus memperkuat diplomasi produk sawit Indonesia di dunia. Awal bulan lalu, pemerintah melakukan kunjungan kerja ke Perancis untuk memasarkan komoditas itu melalui pameran internasional Salon International dede l’Agriculture dan The French Alliance for Sustainable Palm Oil (Aliansi Prancis).
Kemendag menyebut Indonesia merupakan penghasil terbesar minyak sawit bersertifikasi di dunia. Jumlah produksinya mencapai 6,5 juta ton atau 52 persen dari total produksi minyak sawit bersertifikasi global sebesar 12,65 juta ton dengan nilai ekspor US$16,29 miliar pada 2016.
Pemerintah juga telah meminta kepada perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri untuk menyusun rencana spesifik peningkatan kinerja ekspor kelapa sawit. Selain itu, mereka juga diminta berperan secara proaktif, komunikatif, inovatif, dan promotif dalam menarasikan sawit Indonesia kepada seluruh pemangku kepentingan di wilayahnya.