TEMPO.CO, Jakarta - Industri tekstil hulu masih beroperasi pada utilisasi kapasitas rendah pada awal 2017. Produsen serat belum merasakan pengetatan pengawasan impor yang dijanjikan pemerintah.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat Sintetis Indonesia (Apsyfi) Redma Wirawasta menyatakan tidak ada pertumbuhan produksi serat tekstil pada kuartal I/2017.
Industri tekstil hulu memproduksi 130.000 ton serat poliester atau polyester staple fibredan sekitar 150.00 ton filamen pada 3 bulan pertama tahun ini. Volume produksi sepanjang kuartal I/2017 stagnan dibandingkan dengan volume produksi pada periode yang sama tahun lalu.
“Belum ada perubahan . Produksinya masih sama dengan 2016. Stok semakin banyak jadi tidak mungkin meningkatkan produksi,” kata Redma kepada Bisnis, Minggu, 9 April 2017.
Pada level produksi tersebut industri tekstil hulu hanya memanfaatkan sekitar 63% dari kapasitas produksi terpasang, sedangkan utilisasi produksi filamen sekitar 60 persen.
Redma menjelaskan serat dan filamen produksi dalam negeri tidak terserap pasar karena volume impor kain masih tinggi. Volume impor kain yang tinggi membuat kebutuhan atas bahan baku tekstil seperti serat dan filamen rendah karena produsen kain nasional menahan laju produksi.
“Seharusnya ketika menjelang Lebaran stok sudah berkurang atau habis. Industri mulai beli lagi. Lebaran Juni, seharusnya produksi kain sudah mulai naik pada April,” katanya.
Dia memperkirakan pasar tekstil di Tanah Air masih terdistorsi oleh produk yang diimpor menggunakan izin impor produsen. Beberapa perusahaan yang terdaftar sebagai importir produsen menjual langsung produk yang diimpor tanpa melalui proses produksi.
“Kami sudah cek beberapa nama perusahaan. Mereka impor, cuma punya mesin jahit dua, tetapi impornya puluhan kontainer, ribuan ton. Saya berharap ini segera ditertibkan,” kata Redma.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka, Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan Kemenperin telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan soal pemberian izin impor tekstil bagi produsen.
Dia menjelaskan tidak ada perubahan soal tata niaga impor tekstil. Izin impor tetap diberikan tanpa persyaratan rekomendasi dari Kemenperin. Namun, Kemenperin menyediakan data kapasitas industri tekstil dan produk tekstil sebagai acuan Kemendag dalam pemberian izin impor.
“Sehingga Kemendag dapat memberikan izin impor yang realistis. Tidak terlalu banyak, agar tidak digunakan untuk menyalahi aturan bahwa importir produsen tidak diperbolehkan menjual kepada pembeli lain,” katanya.
Sigit memastikan penerapan sistem tersebut tidak akan berpengaruh kepada daya saing logistik nasional atau antrean di pelabuhan karena diberlakukan sebelum pengapalan barang.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyatakan pemerintah harus menerapkan post-audit atas produk yang diimpor menggunakan izin produsen.
Dia menyarankan pemerintah setiap 6 bulan menghimpun data volume produksi tiap perusahaan yang diberikan izin impor tekstil. Data itu kemudian dijadikan acuan pemberian izin impor berikutnya.
“Dicek saja setiap 6 bulan mereka produksi berapa, berapa bahan baku yang sudah digunakan. Jika memang ada kebutuhan lagi ya diberikan,” kata Ade.
BISNIS.COM