TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM (Kepmen ESDM) Nomor 1415 K/20/MEM/2017, telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2017 - 2026.
Dalam sambutannya di acara Coffee Morning di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengimbau PLN untuk membuat rencana zonasi pasokan gas untuk pembangkit baru. Sejalan dengan pemerintah, target pembangunan infrastruktur listrik PT PLN (Persero) dalam RUPTL ini akan mengedepankan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Baca: PLN Timika Siap Bangun 21 Pembangkit Listrik
PT PLN juga akan mengembangkan PLTU Mulut Tambang dengan target total kapasitas adalah sebesar 7.300 MW, dengan 1.600MW berasal dari PLTU Mulut tambang yang akan dibangun di Kalimantan, dan sisanya akan dibangun di Sumatera.
Pembangunan pembangkit PLN hingga 2025 ditargetkan sebesar 77 Giga Watt, dengan transmisi sebesar 67.422 kilometer dan gardu induk dengan target 164.170 MVA.
Dalam RUPTL terbaru ini, target bauran energi untuk EBT naik dari sebelumnya 19,6 persen menjadi 22,5 persen pada tahun 2025. Revisi RUPTL juga menetapkan target terbaru infrastruktur ketenagalistrikan, mengoptimalkan pemanfaatan energi setempat untuk pembangkitan tenaga listrik serta pemilihan teknologi yang lebih efisien. Hal tersebut bertujuan menurunkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik.
Baca: Empat Pembangkit Panas Bumi Beroperasi Tahun Ini
Menurut Jonan, RUPTL memang disesuaikan tiap tahun. Apabila terdapat perubahan, mestinya ada faktor yang disesuaikan yakni terkait dengan lingkungan eksternal, bukan karena faktor internal.
"Kalau ada perubahan eksternal seperti pertumbuhan ekonomi, itu ada perubahan satu moneter yang luar biasa ya diubah. Ini semua pihak harus bertanggung jawab ya," tutur Jonan di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta Selatan, Senin, 10 April 2017.
Dalam RUPTL 2017-2026, jika digabung, pembangkit listrik dari energi air, panas bumi dan EBT lainnya diharapkan bisa mencapai bauran energi 22,5 persen pada 2025. Pembangkit Batubara di 2025 ditargetkan 50 persen dari total energi primer, gas 26 persen dan BBM diharapkan hanya kurang dari 0,5 persen. Sementara, target pembangunan jumlah pembangkit listrik dalam RUPTL 2017-2026 adalah sebesar 125 GW di 2025.
Pada 2019 diharapkan pembangkit yang sudah beroperasi (Commercial Operation Date/COD) sebesar 70GW. Tidak hanya pembangkit, RUPTL terbaru juga menetapkan target pembangunan transmisi dan gardu induk. Terkait pemanfaatan potensi energi primer per daerah, dalam RUPTL 2017-2026, penggunaan jenis pembangkit di tiap wilayah disesuaikan dengan ketersediaan sumber energi setempat atau yang terdekat. Pemerintah fokus pada 'least cost basic energy', mendorong semua daerah memakai energi dasar yang paling kompetitif.
Jonan mencontohkan wilayah di Sumatera Bagian Selatan yang memiliki banyak pasokan batubara sehingga didorong untuk membangun PLTU di Mulut Tambang. RUPTL 2017-2026 juga mengatur pengutamaan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di mulut tambang serta pembangunan PLT Gas di mulut sumur (well-head). "Ini untuk mengurangi biaya pihak ketiga, seperti transportasi. Dengan demikian Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkitannya lebih kompetitif sehingga harga listrik bisa terjangkau," tutur Jonan.
Ia menambahkan, pembangunan harus disesuaikan di tiap kondisi geografis suatu wilayah. Misalnya pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), kurang efisien jika dibangun di Papua dan Maluku karena biaya angkut batubara yang mahal. Berbeda dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang kaya akan batubara. "Lebih baik di Papua dan Maluku bangun PLTG dan Kalimantan diperbanyak PLTU," kata Jonan.
DESTRIANITA