TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 65 masalah dalam program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt. Akibatnya, negara berpotensi merugi hingga Rp 5,65 triliun.
|
"Itu baru potensi kerugian negaranya," kata juru bicara BPK, Raden Yudi Ramdan, Ahad 9 April 2017. BPK juga mencatat PT PLN (Persero) harus menanggung biaya tambahan serta menyediakan dana investasi sebesar US$ 133 juta atau hampir Rp 1,8 triliun dan Rp 555,97 miliar.
Masalah yang dimaksudkan, misalnya, pelaksanaan kegiatan terlambat dan terhambat sehingga mempengaruhi pencapaian tujuan. Hal ini antara lain terlihat dari molornya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon (Waai), PLTU 2 NTB Lombok, PLTU Kalimantan Barat 2, dan PLTU Kalimantan Barat 1.
PLN juga gagal menyelesaikan konstruksi 13 PLTU akibat belum siapnya jaringan dan sistem, adanya peralatan yang rusak, serta perencanaan yang tak memadai. Persoalan itu membuat perusahaan harus mengeluarkan duit sebesar Rp 609 miliar dan US$ 78 juta, atau sekitar Rp 1,04 triliun.
Baca: PLN Timika Siap Bangun 21 Pembangkit Listrik
PLN juga belum memungut denda dari 12 proyek PLTU yang terlambat senilai Rp 704 miliar dan US$ 102,26 juta atau Rp 1,36 triliun. Ada juga lima masalah pemborosan, seperti pembangunan dermaga yang terlalu jauh dari PLTU Bangka Belitung 4, pengadaan high speed diesel di Nusa Tenggara Barat, dan pekerjaan persiapan lahan PLTU Sewa Kariangau yang kandas dari rencana perusahaan.
Masalah lainnya adalah PLN tidak cermat menghitung harga perkiraan sendiri untuk PLTU Tenayan, PLTU Kalimantan Tengah I, dan PLTU Teluk Balikpapan. BPK juga menemukan peralatan di proyek PLTU Kalimantan Barat 1 dan 2 tidak terawat. Akibatnya, PLN merugi hingga Rp 429 miliar dan US$ 36,3 juta, atau sekitar Rp 484 miliar.
Baca: Empat Pembangkit Panas Bumi Beroperasi Tahun Ini
BPK pun mencatat pengoperasian PLTU Rembang yang tidak sesuai dengan rencana. Hal tersebut membuat PLN harus mengeluarkan biaya tambahan untuk merevitalisasi pembangkit dan membeli beragam jenis batu bara.
Lembaga audit keuangan negara ini meminta PLN mengevaluasi lemahnya perencanaan dan pelaksanaan proyek 10 ribu MW. Mereka juga meminta PLN melaporkan penambahan biaya seluruh proyek ke pemegang saham. "Kami akan memantau tindak lanjut selama enam bulan," ucap Yudi.
PLN berdalih, masalah dalam program yang dimulai pada 2006 di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tidak bisa dihindari. Sebab, pengerjaan proyek berlangsung secara paralel. Per Desember 2016, pembangkit yang sudah beroperasi mencapai 9.570 MW. Sisanya masih dalam tahap uji coba dan konstruksi.
Juru bicara PLN, I Made Suprateka, mengatakan lembaganya segera mengevaluasi proyek ini berdasarkan temuan BPK. “Kami akan evaluasi.”
ROBBY IRFANY | PUTRI ADITYOWATI