TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian besar tiang konstruksi pembangkit listrik berkarat ketika para pekerja proyek asal Jawa Timur tiba di Desa Waai, Kabupaten Maluku Tengah. Seorang pekerja ditugasi mengecat ulang tiang-tiang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Waai, yang masih dalam proses pembangunan. Proyek ini mangkrak sejak Februari 2014.
“Kabarnya Pak Jokowi akan datang. Persisnya kapan, saya tidak tahu,” ujar pekerja yang meminta namanya tidak disebut itu, Ahad, 9 April 2017. Ia diberi waktu hingga 19 April untuk merampungkan pengecatan.
Baca Juga:
Nurdin, warga Dusun Batu Naga, yang berada di dekat lokasi proyek, membenarkan kegiatan konstruksi kembali “hidup” belum lama ini. Namun, ia mengatakan, belum banyak pekerja yang beraktivitas.
Baca: PLN Timika Siap Bangun 21 Pembangkit Listrik
Keramaian hanya dia saksikan saat PT PLN (Persero) mendatangkan kapal pembangkit listrik Karadeniz Powership Yasin Bey. Perseroan memakai pembangkit terapung berkapasitas 60 megawatt (MW) ini sebagai solusi pasokan listrik sementara di Kota Ambon.
PLN memutuskan melanjutkan pembangunan PLTU Waai (2 x 15 MW) setelah memperoleh rekomendasi dari Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) Kejaksaan Agung. Perusahaan pun merevisi jadwal pengoperasian proyek, dari semula 2013 menjadi 2019. Konstruksi proyek dimulai pada 2010.
PLN mencatat, proyek ini mangkrak lantaran kontraktor—konsorsium PT Sakti Mas Mulia, Wuhan Kaidi Electric Power Co, dan PT Hilmanindo Signintama—terhambat masalah finansial. Pembangunan juga terbengkalai karena kasus sengketa lahan. PLN pun mengambil alih pembangunan proyek.
Baca: Empat Pembangkit Panas Bumi Beroperasi Tahun Ini
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Azis menyebut proyek yang mangkrak membuat PLN harus merogoh kocek tambahan Rp 609,54 miliar dan US$ 78,69 juta. PLN juga memakai duit itu untuk biaya PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU 2 Lombok, serta PLTU Kalimantan Barat 1 dan 2.
PT PLN (Persero) berjanji akan segera menindaklanjuti temuan BPK mengenai program percepatan pembangunan pembangkit (fast track program/FTP) tahap I dan II yang dimulai pada 2006.
Juru bicara PLN, I Made Suprateka, mencatat ada 23 proyek yang berlanjut dari 34 proyek pembangkit fast track program tahap I dan II. Perseroan mengakhiri pembangunan 11 proyek sisanya. Sebagai pengganti, dibangun sejumlah pembangkit gas, transmisi, dan gardu induk di lokasi proyek.
“Rencana ini sudah kami konsultasikan dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,” ujar Made.
Karena itu, perusahaan kini menambah syarat keikutsertaan pengembang. Salah satunya uji tuntas (due diligence) pengembang secara teknis dan komersial. Syarat lain, kewajiban pengembang menyetor dana jaminan sebesar 10 persen dari nilai total proyek sebagai bukti kesanggupan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga mengatur sanksi bagi kontraktor yang tidak menaati kewajiban dalam kontrak. Sanksi yang termuat dalam Peraturan Menteri Energi Nomor 10 Tahun 2017 ini disebut delivery or pay. Artinya, pengembang listrik swasta dibebani kewajiban memproduksi tenaga listrik sesuai dengan kapasitas yang telah disepakati.
Jika setrum yang dijual di bawah kapasitas, pengembang harus membayar penalti sebanyak selisih listrik yang diganti PLN. “Di PPA (perjanjian jual-beli listrik) perlu ada delivery or pay. Kalau pembangkit rusak, IPP yang bayar. Besarnya denda akan membikin pengembang kapok,” ujar Menteri Energi Ignasius Jonan, beberapa waktu lalu.
Pemerintah pun membatasi masa kontrak jual-beli selama 30 tahun dengan periode depresiasi pembangkit selama 20 tahun. Menurut Jonan, kebijakan itu bertujuan untuk efisiensi biaya produksi listrik.
AHMAD FAIZ | ROBBY IRFANY | RERE KHAIRIYAH (AMBON)