TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik pada 2017 mencapai 5,7 persen. Menurut Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada, angka tersebut turun dibandingkan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik 2016 yang mencapai 5,8 persen.
Yasuyuki mengatakan, pertumbuhan ekonomi Asia didorong oleh meningkatnya permintaan eksternal dan membaiknya harga komoditas. Faktor-faktor tersebut menjadikan Asia sebagai kontributor pertumbuhan terbesar bagi ekonomi global, yakni sebesar 60 persen.
“Asia yang sedang berkembang terus mendorong perekonomian global meskipun kawasan ini menyesuaikan dengan perekonomian Tiongkok yang saat ini lebih didorong oleh konsumsi dan terancam risiko global,” kata Yasuyuki dalam risetnya, Kamis, 6 April 2017.
Baca: Risiko Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Menurut ADB
Yasuyuki menilai, walaupun terdapat ketidakpastian dalam perubahan kebijakan di negara-negara maju, fundamental perekonomian sebagian besar negara-negara di Asia siap untuk menghadapi potensi terjadinya guncangan jangka pendek.
Perekonomian negara yang berbasis industri, menurut Yasuyuki, menguat dengan pertumbuhan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang yang diprediksi mencapai 1,9 persen pada 2017. Ekonomi AS akan didorong oleh meningkatnya keyakinan konsumen serta menurunnya pengangguran.
Namun, Yasuyuki menilai, masih terdapat risiko ketidakpastian arah kebijakan ekonomi AS. "Eropa terus menguat tapi sedikit terganggu akibat Brexit. Sementara Jepang masih bergantung pada kemampuannya mempertahankan pertumbuhan ekspor agar bisa ekspansi."
Baca: ADB Jelaskan Mengapa Ekonomi Indonesia Terus Tumbuh
Risiko lainnya di Asia, menurut Yasuyuki, adalah kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate. Hal itu dinilai akan mempercepat aliran modal keluar. "Meskipun risiko ini agak berkurang oleh melimpahnya likuiditas di kawasan ini," katanya.
Yasuyuki berujar, efek dari pengetatan kebijakan moneter AS akan terjadi perlahan. Negara dengan nilai tukar fleksibel dapat mengaiami depresiasi mata uang yang lebih dalam. "Untuk negara dengan nilai tukar yang dikontrol pemerintah cenderung kurang terpengaruh," tuturnya.
Di sisi domestik, menurut Yasuyuki, kenaikan utang di beberapa negara juga meningkatkan risiko. Dia menyarankan agar mereka mengatasi risiko itu kebijakan makro yang hati-hati. "Seperti pengetatan debt-to-income ratio untuk pinjaman," katanya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI