TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mengemukakan pertumbuhan produk domestik bruto kawasan Asia Pasifik akan turun menjadi 5,7 persen pada 2017 dan 2018, dari 5,8 persen tahun lalu. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi China yang akan melambat menjadi 6,5 persen pada tahun ini dan 6,2 persen pada tahun depan. Melambatnya ekonomi China disebabkan karena pemerintah Cina sedang melakukan transisi menuju perekonomian berbasis konsumsi.
Yasuki Sawada, Ekonom Kepala ADB, mengatakan Asia yang sedang berkembang akan terus mendorong perekonomian global, bahkan meskipun kawasan ini menyesuaikan dengan perekonomian Republik Rakyat China. "Meskipun ada ketidakpastian dalam perubahan kebijakan di negara-negara maju, kami merasa bahwa sebagian besar perekonomian siap menghadapi guncangan jangka pendek," ungkapnya dalam laporan Asian Development Outlook (ADO) 2017.
Baca: Soal Asumsi Pertumbuhan Ekonomi 2018, Sri Mulyani: Kita Ambisius
Sementara itu, pertumbuhan di Asia Tenggara secara umum diperkirakan akan semakin cepat dan hampir semua negara memperlihatkan tren peningkatan. Khusus kawasan ini, ADB memperkirakan pertumbuhannya akan mencapai 4,8 persen tahun ini dan 5 persen pada 2018 atau naik dari 4,7 persen tahun lalu.
Menurut Sawada, produsen komoditas seperti Malaysia, Vietnam, dan Indonesia akan diuntungkan oleh pemulihan harga pangan dan bahan bakar dunia. Inflasi konsumen regional Asia diproyeksikan akan menjadi 3 persen pada 2017 dan 3,2 persen pada 2018, naik dari 2,5 persen pada 2016.
Baca: Pemerintah Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi di Atas 6 Persen
Kenaikan inflasi ini disebabkan oleh permintaan konsumen yang lebih kuat dan harga komoditas global semakin meningkat. "Namun, proyeksi inflasi dua tahun ke depan masih jauh di bawah rata-rata inflasi dalam 10 tahun regional [Asia] sebesar 3,9 persen," ujarnya.
Dari sisi domestik, ADB mengungkapkan sejumlah risiko yang perlu diperhatikan antara lain utang dalam negeri di beberapa negara Asia yang mulai menjadi risiko. Menurut Sawada, otoritas yang berwenang perlu mengatasi risiko ini melalui kebijakan makro yang hati-hati, seperti pengetatan rasio utang, pendapatan bagi pinjaman.
Selain itu, dia menambahkan intervensi yang lebih tegas di pasar perumahan bisa dilakukan guna mendinginkan permintaan spekulatif dan mencegah gelembung aset (asset bubble). Di sisi global, risiko utama yang akan berpengaruh yakni tingkat suku bunga AS yang lebih tinggi.
Risiko ini akan mempercepat aliran modal keluar di sejumlah negara. "Meskipun risiko ini agak berkurang oleh melimpahnya likuiditas di kawasan ini," katanya.
Menurut ADB, pengaruh pengetatan kebijakan moneter AS kemungkinan terjadi perlahan sehingga pemerintah di Asia Pasifik memiliki waktu untuk melakukan persiapan.
ADB mengingatkan perekonomian dengan nilai tukar fleksibel dapat mengalami depresiasi mata uang yang lebih jauh dan inflasi lebih tinggi. sementara itu, mata uang yang dikontrol pemerintah cenderung kurang terpengaruh dari dampak peningkatan daya saing lewat harga ekspor.