TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membolehkan PT Freeport Indonesia menjual mineral olahannya ke luar negeri sekalipun perundingan tidak kunjung mencapai kata sepakat. Negosiasi mengenai pembangunan fasilitas pengolahan tembaga (smelter) juga belum kelar.
“Dalam pembahasan jangka panjang, poin yang dibicarakan adalah stabilitas investasi, keberlangsungan operasi Freeport, divestasi, dan pembangunan smelter," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Mohamad Teguh Pamuji di Jakarta, Selasa, 4 April 2017.
Baca Juga:
Peraturan Menteri Energi Nomor 5 Tahun 2017 membolehkan perusahaan mengekspor mineral olahan selama menyetor rencana pembangunan smelter. Kementerian Energi akan menunjuk auditor independen untuk memeriksa realisasi pembangunannya. Jika tidak mencapai 90 persen dari target, rekomendasi ekspor bakal dicabut.
Baca: 8 Pasal Revisi UU Lalu Lintas, Sepeda Motor Jadi Angkutan Umum
Kementerian menjamin, meski pembahasan belum selesai, Freeport berkomitmen membangun smelter. Fasilitas pengolahan berada di Gresik, Jawa Timur, dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Proyek itu menelan anggaran hingga US$ 2,1 miliar. Namun, sampai sekarang, pembangunannya mandek di angka 14 persen. Janji Freeport memulai konstruksi pada Juni 2016 tidak terbukti.
Rekomendasi ekspor Freeport terbit pada 17 Februari 2017. Kementerian memberi kuota penjualan sebesar 1,13 juta ton selama setahun. Rekomendasi diberikan seiring dengan penerbitan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) Freeport.
Baca: Analis: Tetap Waspada Pelemahan IHSG
Namun, hingga kini, Freeport belum mengajukan izin ekspor ke Kementerian Perdagangan. Sebab, perusahaan belum menyepakati IUPK tanpa kepastian hukum dan fiskal setara kontrak karya. Juru bicara Freeport, Riza Pratama, enggan menjawab kapan perusahaan bakal melanjutkan ekspor. Dia mengatakan saat ini perusahaan masih terus berunding dengan pemerintah. "Kami masih terus berunding dan berlangsung konstruktif," katanya.
ROBBY IRFANY | FLORENTIN