TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berjanji akan terus mengejar wajib pajak yang batal memulangkan hartanya dari luar negeri alias repatriasi dalam program amnesti pajak. Hingga amnesti pajak ditutup pada 31 Maret lalu, tercatat ada Rp 27,4 triliun komitmen repatriasi yang batal pulang.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi, salah satu penyebab minimnya realisasi repatriasi adalah karena wajib pajak memilih skema cross saham. Skema itu membuat dana yang pulang tidak terpantau dan tidak masuk dalam data repatriasi bank gateway amnesti pajak. “Ada banyak cara repatriasi dan tidak bisa kami kontrol sepenuhnya,” ujar Ken, Senin, 3 April 2017.
Baca: Ada Potensi Rp 29 Triliun Dana Repatriasi Gagal Masuk
Menurut Ken, pemerintah sudah menyiapkan dua cara untuk mengejar komitmen repatriasi peserta amnesti. Pertama, meminta tambahan tebusan 2 persen jika wajib pajak mendeklarasikan harta di luar negeri tanpa repatriasi. Potensi tebusannya senilai Rp 494 miliar. Cara kedua adalah mendenda wajib pajak sebesar 48 persen jika hartanya batal diakui.
Pemerintah mencatat ada lebih dari 3.500 wajib pajak yang berkomitmen memulangkan hartanya ke Indonesia. Nilainya mencapai Rp 147 triliun. Tapi, hingga 31 Maret lalu, bank penerima dana amnesti baru menerima laporan repatriasi Rp 121 triliun, atau kurang Rp 27,4 triliun dari komitmen.
Baca: Repatriasi Rp 29 Triliun Gagal Masuk, DJP Klarifikasi
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi mengatakan minimnya realisasi repatriasi lantaran tawaran investasi di dalam negeri tidak menarik. “Kalaupun ada yang repatriasi juga masih mengendap di perbankan,” katanya, kemarin. Dia mengatakan pemilik modal selalu mempertimbangkan potensi keuntungan yang diperoleh ketika memulangkan hartanya. Apalagi, menurut dia, risiko berinvestasi di Indonesia masih tinggi.
Pada pertengahan November tahun lalu terjadi crossing saham besar-besaran di Bursa Efek Indonesia hingga Rp 189 triliun dalam satu hari di pasar negosiasi. Direktur Utama BEI Tito Sulistio kala itu mengatakan Rp 177 triliun di antaranya merupakan transaksi saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Saat itu, sebanyak 47,15 persen saham Farindo Investment (Mauritius) Ltd di BCA diakuisisi PT Dwimuria Investama Andalan. Dwimuria merupakan perusahaan investasi milik konglomerat bersaudara pemilik Grup Djarum, Robert Budi Hartono dan Bambang Hartono. Kepada Tempo, akhir pekan lalu, Presiden Direktur BCA Tjahja Setiaatmadja membenarkan crossing saham tersebut. “Pemilik modal lebih nyaman mengelola uang dan asetnya sendiri daripada diserahkan ke pihak lain,” ujarnya.
Ketua Otoritas Jasa Keuangan Muliaman D. Hadad mengatakan 70 persen duit repatriasi sampai saat ini masih mendekam di perbankan. Sayangnya, OJK tidak bisa memaksa pengusaha segera menginvestasikan dana tersebut di dalam negeri.
“Yang paling penting memonitor dana itu menetap tiga tahun di sini,” ujar Muliaman. Adapun dana yang dikelola non-perbankan hanya Rp 1 triliun untuk asuransi, Rp 9 miliar di pasar modal dan manajer investasi, serta Rp 11,5 triliun di sektor lain.
ANGELINA ANJAR SAWITRI | ANDIIBNU | KHAIRUL ANAM