TEMPO.CO, Jakarta - Pembangunan PLTU Batang awalnya terkendala pembebasan lahan dan pembiayaan. Pembangkit berkapasitas 2x1.000 megawatt itu sempat terkatung-katung hampir empat tahun. Seharusnya PLTU Batang sudah mulai beroperasi tahun ini. Sekarang target beroperasinya diundur sampai 2020.
Menurut Pelaksana tugas Bupati Batang, Nasihin, hambatan utama mangkraknya proyek ini dulu adalah ulah para spekulan tanah. Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir, mengatakan proyek PLTU Batang macet sejak pihaknya memenangi tender pada 2012. Adaro adalah anggota konsorsium Independent Power Producer (IPP) PLTU Batang bersama Electric Power Development Co Ltd (J-Power) dan Itochu Corporation (Itochu).
Baca: Penjualan Listrik PLTU Batang Ditargetkan Mulai 2020
Menurut Boy Thohir, dari rencana pengadaan lahan seluas 220 hektare, hanya 120 hektare yang dapat dibebaskan saat itu. Sisanya tak kunjung bisa dibebaskan karena harga yang diminta sudah naik puluhan kali lipat. Harga tanah yang semula Rp 8.000 per meter persegi melonjak hingga Rp 400-an ribu per meter persegi.
“Sudah terlalu mahal,” kata Boy Thohir, sapaan akrab Garibaldi, seperti dikutip dalam majalah Tempo edisi 3 April 2017. Sumber masalah itu bukannya tidak disadari. Namun keluhan ke pemerintah saat itu tak kunjung mendapatkan solusi.
Baca: Koalisi LSM Kembali Protes Menolak PLTU Batang
Barulah pada Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengambil inisiatif mendorong percepatan pembangunan PLTU Batang. Pembangkit listrik yang disebut-sebut akan menjadi yang terbesar di Asia itu dimasukkan ke daftar mega proyek pembangkit 35 ribu MW.
Bersamaan dengan itu, Boy Thohir mengaku dipanggil Jokowi ke Istana pada awal 2015. “Saya ditanya soal PLTU Batang,” katanya. “Saya cerita saja bahwa lahan yang perlu dibebaskan tinggal 30 hektare. Waktu itu Presiden bilang harus jalan,” kata Boy.
Sebulan kemudian, Boy Thohir dipanggil lagi ke Istana bersama rekanannya dari Jepang. Presiden Jokowi mengundang mereka untuk bertemu dengan Kepala Bappenas, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Direktur Utama PT PLN.
Di depan peserta pertemuan itu, Jokowi meminta PLN dan para menterinya memastikan PLTU Batang segera dibangun. Presiden bahkan menelepon Menteri Agraria di hadapan Boy serta tamu-tamunya dari Jepang dan memberi instruksi agar urusan pembebasan lahan segera selesai.
Sejak itu, Boy mengaku setiap bulan bolak-balik ke Istana Negara. “Kami senang karena ditongkrongi Presiden. Beliau selalu menanyakan progres pembangunan,” kata Boy.
Turun tangannya Presiden berbuah positif. Hanya dalam tempo tujuh bulan, persoalan lahan yang sudah terkatung-katung hampir tiga tahun itu beres. Tak lama kemudian PLTU Batang mencapai kesepakatan pembiayaan (financial close) dan memulai konstruksi.
Menurut Boy Thohir, dimulainya proyek PLTU Batang adalah tonggak penting keberhasilan pemerintah Jokowi. Proyek itu adalah model kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership) pertama yang mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ketentuan itu mengatur penetapan harga tanah oleh apraisal independen.
Bila tak ada kesepakatan, pembayarannya dititipkan ke Pengadilan Negeri. Prosesnya cepat karena bila tak puas langsung ke Mahkamah Agung.
Arthur Simatupang, Ketua Harian Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), mengatakan pembebasan lahan merupakan persoalan klasik yang dihadapi semua rekanan proyek pembangkit yang dicanangkan pemerintah. Masalah pelik kedua adalah soal perizinan yang berbelit, dan ketiga baru soal sumber pembiayaan. “Pertama selalu tanah. Kalau tanah belum beres, pembangunan proyek tidak akan bisa dilaksanakan,” kata Arthur.
AGUS SUPRIYANTO | AYU PRIMA SANDI | EDI FAISOL