TEMPO.CO, Jakarta - Setelah program pengampunan pajak atau tax amnesty berakhir pada 31 Maret lalu, pemerintah diminta untuk memaksimalkan pengejaran atas wajib pajak (WP) yang belum melaporkan harta mereka yang disimpan di luar negeri melalui berbagai kerja sama bilateral maupun multilateral. Salah satunya adalah kesepakatan Automatic Exchange of Information (AeoI) di mana Indonesia telah berkomitme untuk ikut aktif pada 2018 mendatang, sebaga upaya mengejar
WP yang menyimpan harta di luar negeri.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan dalam pelaksanaanya negara-negara yang berpartisipasi dalam AEoI harus melalui proses dan memenuhi persyaratan yang tidak sederhana. “Belum
semua negara berkembang seperti Indonesia siap dalam menghadapi AeoI,” ujarnya, dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Minggu, 2 April 2017.
Baca Juga: Sri Mulyani : DJP Siap Ikuti Pertukaran Data Pajak ...
Dia mengatakan terdapat beberapa persoalan teknis yang menjadi kelemahan negara-negara berkembang antara lain perbaikan struktur organisasi, kesiapan teknologi informasi, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan institusi perbankan,
hingga penyesuaian regulasi. “Kalaupun persoalan-persoalan itu dapat diatasi, sistem AEoI sendiri sebenarnya memiliki banyak kelemahan.” Di antaranya yaitu informasi harta yang dapat dilaporkan hanya nilai simpanan uang di perbankan. Sedangkan harta dalam bentuk lain seperti emas atau aset tetap rumah dan apartemen tidak dapat diberikan.
Selanjutnya informasi simpanan hanya dapat dilaporkan apabila rekening bank yang bersangkutan bersifat pasif. Ketiga, informasi simpanan di bank hanya dapat dilaporkan jika nilainya lebih dari US$ 250 ribu. Keempat, sistem AEoI tidak
mampu menelusuri informasi status kependudukan yang diberikan oleh pemegang rekening yang ternyata palsu. Kelima, sistem AEoI juga tidak memberikan sanksi bagi negara-negara yang tidak patuh dan yang tidak berpartisipasi.
“Karena itu di luar kesepakatan AEoI, dibutuhkan langkah-langkah kerja sama antara negara lainnya untuk mengejar pelaporan harta yang disimpan WP di luar negeri,” kata Faisal. Kemudian dari sisi kelembagaan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada otoritas pengelola penerimaan negara melalui mode semi autonomus revenue authority (SARA), atau otoritas yang bertugas khusus mengurus penerimaan negara termasuk perpajakan yang terpisah dari institusi Kementerian Keuangan.
Simak Pula: Syarat Ikut Pertukaran Data Pajak, Aturan Harus Selesai ...
Faisal mengatakan beberapa keuntungan dari model ini antara lain agar otoritas yang mengurusi penerimaan negara dapat lebih fokus mengatur urusannya layaknya institusi bisnis profesional. “Jadi mengurangi intervensi politik dan memperkuat
transparansi pengawasan,” ujarnya. Dengan demikian, kinerja lembaga ini menjadi lebih efisien, baik dari sisi pengelolaan sumber daya manusia, penggunan anggaran, peningkatan layanan perpajakan, perbaikan database dan pencatatan WP, hingga
peningkatan transparansi.
“Meskipun demikian, tanpa komitmen pemerintah yang disertai dengan perencanaan yang matang, pembentukan SARA tidak akan cukup efektif memperbaiki kinerja sektor perpajakan,” kata Faisal.
GHOIDA RAHMAH