TEMPO.CO, Bandung - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan, lembaganya sempat menolak penerapan batas bawah bagi taksi online. Tapi belakangan menyetujui setelah rapat terbatas akhir pekan ini bersama Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri membahas regulasi taksi online.
"KPPU setuju dengan catatan, hanya sebagai masa transisi," kata Syarkawi di Bandung, Sabtu, 1 April 2017.
KPPU berpendapat bisa menyetujui keinginan peserta rapat bahwa transisi diperlukan. Dalam masa transisi itu tarif bawah diperlukan untuk melindungi operator dari praktik predatory pricing.
Syarkawi Rauf
Syarkawi menjelaskan, KPPU sebelumnya menolak penerapan tarif batas bawah dan hanya menyetujui batas atas dalam regulasi tarif taksi online. Pengalaman lembaganya mendapati penerapan tarif batas bawah di sejumlah moda transportasi tidak mendorong struktur biaya semakin makin rendah.
“Tarif batas bawah itu tidak memberikan insentif untuk inovasi, tidak memberikan dorongan melakukan efisiensi, dan tidak mendorong perubahan struktur cost semakin rendah yang ujungnya menguntungkan konsumen,” ucap Syarkawi.
Baca:
Hari Terakhir Tax Amnesty, 3 Wajib Pajak Terancam Disandera
Tax Amnesty & SPT, Ini 2 Regulasi Baru dari Ditjen Pajak
Deklarasi Harta Tax Amnesty Rp 4.813 T, Sri Mulyani Puas
Menurut Syarkawi, tarif batas bawah dalam prakteknya malah mendorong harga tiket terus naik . Penerapan tarif bawah itu pun dinilai merugikan konsumen karena konsumen dipaksa membayar pada harga normal. Konsumen juga dipaksa menanggung inefisiensi pada operator transportasi baik yang konvensional maupun online. "Sehingga kami tidak merekomendasikan itu.”
KPPU setuju tarif batas bawah diterapkan dalam regulasi mengatur taksi online yang berlaku hari ini, 1 April 2017, dalam masa transisi. Masa peralihan ini memberi kesempatan bagi pelaku usaha taksi konvensional dan online untuk beradaptasi dalam model bisnis baru, yakni transportasi berbasis aplikasi.
“Penerapan batas bawa sebagai proses transisi untuk melakukan penyeusaian masing-masing operator. Toh, sekarang mereka sudah menyatu, Gojek bergabung dengan Bleu Bird, dan yang lain-lain. Ke depan mereka akan menyatu,” ujar Syarkawi.
KPPU juga menolak penerapan kuota dalam regulasi taksi online yang dikeluarkan pemerintah dengan sejumlah alasan. Selain sulit mengukurnya, Syarkawi meneruskan, pada prakteknya itu dikhawatirkan menjadi sumber pungutan liar baru.
Simak pula:
Tax Amnesty Berakhir, Sri Mulyani di Instagram: Anda Luar Biasa
Ini Alasan Pemerintah Tunda Buka Data Kartu Kredit untuk Pajak
BI: Hasil Amnesti Pajak Adalah Prestasi Tinggi
Syarkawi berpendapat, pembatasan kuota ini berpotensi konsumen tidak terlayani pada saat permintaan tinggi. “Operator bisa melakukan eksploitasi pada konsumen dan menerapkan harga mahal. Kami dukung pemerintah kalau menerapkan batas atas untk melindungi konsumen.”
Kebijakan kuota juga berpotensi membuka peluang kongkalikong antara pemerintah daerah yang mengaturnya dan operator. KPPU berkonsultasi informal dengan pimpinan KPK yang juga menyetujui penerapan sistem kuota atau jatah itu berpotensi menimbulkan praktilevel pemerintah daerah “Pemberian jatah itu bisa negosiabel, itu bisa menjadi instrumen pungli,” ucap Syarkawi.
Rekomendasi lain KPPU soal regulasi taksi online adalah tidak perlu mengubah kepemilikan kendaraan menjadi aset korporasi atau koperasi. Undang-Undang Koperasi, misalnya, masih membolehkan aset koperasi atas nama anggotanya. Koperasi sapi perah, misalnya, membolehkan kepemilikan sapi masih atas nama anggota kendati diakuis ebagai aset koperasi. “Model bisnis seperti ini adalah model bisnis berbasis rakyat,” kata Syarkawi. “Kami mendorong pemerintah tidak perlu ada switching ownership pada STNK atas nama pribadi jadi koperasi.”
KPPU bakal mengawasi praktik regulasi yang diterapkan pemerintah daerah terhadap taksi online yang berlaku hari ini. KPPU berwenang memberikan rekomendasi kepada pemerintah, tapi ujung tergantung pada komitmen pemerintah. Maka KPPU meminta pemerintah daerah berhati-hati menerapkan regulasi pembatasan pada taksi online ini karena setiap pembatasan akan mengarah pada persaingan tidak sehat. “Pembatasan ini jangan sampai menghambat persaingan,” ucap Syarkawi.
AHMAD FIKRI