TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyatakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dikendalikan pemerintah, yaitu jenis Premium dan solar, tidak akan naik pada April hingga Juni mendatang. Menurut dia, pemerintah berusaha menjaga harga BBM tetap stabil meski harga minyak dunia mulai naik.
Jonan mengatakan kenaikan belum mendesak, mengingat saat harga minyak dunia di bawah US$ 40 per barel tahun lalu, PT Pertamina (Persero) tidak menurunkan harga eceran untuk konsumen. "Kami usahakan April sampai Juni tidak akan naik. Sebab, masih ada cadangan yang bisa digunakan Pertamina untuk menutupi selisih saat harga minyak mentah naik," kata dia, di Energy Building, Jumat, 24 Maret 2017.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi I Gusti Nyoman Wiratmadja menambahkan, Pertamina seharusnya menjaga harga BBM seperti saat ini untuk mendorong stabilitas ekonomi nasional.
Baca: Menteri Jonan Jelaskan Soal Tarif Listrik dan BBM
"Walaupun memang harga eceran berada di bawah nilai keekonomian Pertamina," ucapnya. Wiratmadja yakin "kerugian" Pertamina tidak akan berlangsung lama karena harga minyak dunia kembali turun. "Hanya perlu dikaji lagi, sampai sejauh mana penurunannya, akan berhenti di angka berapa."
Saat ini harga minyak Brent dan West Texas Intermediate (WTI) tercatat masing-masing US$ 50,56 dan US$ 47,7 per barel. Nilai komoditas itu naik seiring dengan rencana anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi masing-masing. Namun tren harga minyak dunia bakal kembali menurun seiring dengan temuan cadangan baru dan kecenderungan beberapa negara untuk mempertahankan batas produksi maksimal.
Simak: Investor Migas Minta Pemerintah Buat Kebijakan yang Fleksibel
Pemerintah mengevaluasi harga BBM terakhir pada 1 Januari 2017. Ketika itu harga Premium ditetapkan Rp 6.450 per liter dan solar Rp 5.150 per liter. Harga itu sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Namun Pertamina mengajukan kenaikan harga dua jenis BBM itu mulai 1 April. Sebab, kata Direktur Pemasaran Pertamina Iskandar, biaya perolehan BBM lebih besar ketimbang harga jualnya. "Kami mengusulkan agar harga sesuai dengan biaya keekonomiannya," kata dia, Kamis lalu.
Menurut Iskandar, biaya perolehan solar mencapai Rp 8.300 per liter dan Premium Rp 6.850 per liter. Sedangkan harga Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali sebesar Rp 6.450 per liter. Saat harga acuan pasar Platts di Singapura (MOPS) mencapai US$ 55-60 per barel, Pertamina mengalami defisit dari penjualan solar sejak Oktober 2016 dan Premium sejak September 2016.
Simak: Ikuti Saran Jokowi, Tarif Listrik Tak Naik hingga Juni
Pertamina kemudian mengusulkan perubahan harga kepada pemerintah, yang hanya menyetujui kenaikan harga Premium Rp 500 per liter. Pertamina pun menambal defisit Rp 2 triliun.
Iskandar mengatakan dalam dua pekan terakhir harga MOPS stabil. Jika harga meningkat, dia memprediksi bakal ada migrasi penggunaan BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi jenis Premium. Hal itu terjadi karena disparitas harga BBM non-subsidi dan bersubsidi bakal melebar. "Kalau perbedaannya lebih dari Rp 1.000 bisa ada migrasi."
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Hanura, Inas Nasrullah Zubir, mengatakan sudah mewanti-wanti pemerintah untuk tidak memangkas subsidi sejak pertengahan tahun lalu. "Karena MOPS sedang naik." Namun, kata Inas, pemerintah saat itu menganggap harga minyak sedang murah.
Karena itu, kerugian Pertamina bisa dibayar pada tahun berikutnya, asalkan pemerintah mau menaikkan subsidi solar kembali ke angka Rp 1.000 per liter dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017.
GHOIDA RAHMAH | ROBBY IRFANY