TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia akan fokus pada sumber-sumber domestik untuk menggerakkan perekonomian. Kebijakan ini diharapkan efektif untuk mengantisipasi risiko perlambatan ekonomi global akibat strategi proteksi dagang Amerika Serikat.
Bank Dunia juga mengingatkan proteksi dagang yang ‘mungkin’ dijalankan AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump akan membebani neraca perdagangan Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tidak munculnya kesepakatan kuat dan komitmen bersama dari G20 untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi – karena komunikasi kebijakan yang protektif dari Amerika Serikat – merupakan sebuah kemunduran.
“Kebijakan proteksionisme tidak akan membantu mencapai 2 by 5 karena nanti justru makin memperlemah komitmen perbaikan fundamental dan competitiveness,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 22 Maret 2017.
Menurut dia, pencapaian pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota G20 juga masih berada di bawah harapan. Hal ini dikarenakan kebijakan dari sisi fiskal dan moneter kurang diikuti dengan kebijakan yang bersifat struktural-fundamental untuk memperbaiki ekonomi riil.
Dalam pertemuan G20 Leaders akhir 2014 di Brisbane, negara-negara anggota mematok target yang ambisius untuk produk domestik bruto (PDB) kolektif. Dalam komunike yang dihasilkan, setidaknya ada tambahan minimal 2 persen pada 2018.
Pada kenyataannya, menilik data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), laju PDB G20 melambat setelah ada akselerasi tipis pada 2014. Pada 2016, pertumbuhan ekonomi tercatat 3,0 persen, melambat dibandingkan dua tahun sebelumnya 3,4 persen.
Menkeu melanjutkan langkah untuk menghadapi arah kebijakan ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian adalah memperkuat sumber-sumber laju PDB yang berasal dari dalam negeri agar momentum pertumbuhan tetap terjaga.
Hal ini akan dilakukan dengan menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas 5 persen yang salah satunya dengan menjaga tingkat inflasi. Investasi juga diharapkan masih bisa tumbuh sekitar 6 persen. Pada saat yang bersamaan, pemerintah akan perbaikan belanja APBN.
Eric Sugandi, Chief Economist SKHA Institute for Global Competitiveness (SIGC) berpendapat dalam situasi ini memang semakin memperjelas kunci penjagaan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berasal dari domestik, terutama konsumsi rumah tangga.
Kebijakan proteksi ekonomi dan competitive devaluation, sambungnya, akan menghambat pertumbuhan ekonomi global dan bisa menekan volume perdagangan global. Memang masih ada peluang jika pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan Cina membaik.
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro berpendapat negara-negara maju yang semakin protektif memang akan menyulitkan penambahan pertumbuhan ekonomi secara lebih cepat. Jika melihat tren perlambatan negara-negara yang mencakup 85 persen ekonomi dunia tersebut, target tambahan 2 persen dalam lima tahun tidak realistis.
“Sebagian disebabkan perlambatan ekonomi China dan negara maju yang tidak mampu bersaing dagang, dan sekarang diperparah oleh bermacam proteksi baru,” katanya.
Proteksionisme ini pada gilirannya juga menyulut biaya produk yang lebih mahal bagi konsumen dalam negeri mereka. Kondisi ini juga berpotensi melemahkan konsumsi masyarakat secara umum.
Indonesia, lanjutnya, juga tumbuh lebih lambat dari rencana atau target Presiden Joko Widodo. Sisi positifnya, menurut Andry, ekonomi Tanah Air sudah rebound pada tahun lalu dan ada momentum laju yang lebih cepat pada tahun ini.
“Kuncinya mendorong peranan investasi swasta dalam negeri dan luar negeri. Ya , tahun ini proyeksi kami di 5,1 persen dan tahun depan di 5,3 persen,” katanya.
Country Director World Bank for Indonesia Rodrigo Chaves mengingatkan proteksionisme AS akan memberikan potensi risiko penurunan ekspor Indonesia.
Chaves menjelaskan AS merupakan negara tujuan ekspor Indonesia terbesar ketiga menyusul Cina dan Jepang. Alhasil, jika ada gangguan dalam arus perdagangan, gangguan itu akan menimbulkan efek disproporsi terhadap sektor manufaktur Indonesia.
"Selain itu, AS merupakan pasar penting bagi partner perdagangan Indonesia di kawasan yakni, Jepang dan Cina," ujarnya.
Jika ada ganguan dalam perdagangan antara AS dan negara di Asia Pasifik, World Bank melihat akan memberikan efek sekunder atau secondary effects kepada Indonesia akibat penurunan permintaan di dua negara tersebut.
Bank Dunia juga memperkirakan defisit neraca berjalan Indonesia akan tetap berada dalam kisaran 1,8 persen dari produk domestik bruto, atau tetap jika dibandingkan dengan tahun lalu. Kendati demikian, World Bank tetap melihat adanya pertumbuhan nilai ekspor yang diproyeksikan akan melampaui nilai impor Indonesia.
Acting Lead Economist Hans Anand Beck mengungkapkan perbaikan nilai ekspor tersebut didukung oleh kenaikan harga komoditas pada kuartal pertama tahun ini.
"Kenaikan yang positif dari harga komoditas diharapkan berlanjut hingga sisa tahun ini," ujarnya.
BISNIS.COM