TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank (ADB) mencatat kebutuhan investasi di kawasan Asia dengan perkembangan ekonomi pesat mencapai US$ 26 triliun (sekitar Rp 346.138 triliun) selama 15 tahun atau periode 2016-2030. Jumlah itu setara dengan US$ 1,7 triliun (sekitar Rp 22.632 triliun) setiap tahun.
"Penggunaannya untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi, mengatasi kemiskinan, hingga menanggapi perubahan iklim," ujar Vice President ADB Bambang Susantono di Grand Hyatt, Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017.
Adapun estimasi kebutuhan investasi itu sudah mencakup perhitungan biaya mitigasi atau pencegahan dan adaptasi perubahan iklim yang terjadi. Bambang berujar, jika aspek tersebut dikeluarkan, kebutuhan investasi Asia hanya US$ 22,6 triliun atau US$ 1,5 triliun setiap tahun.
Baca: ADB: Biaya Infrastruktur di Asia Bisa Melebihi US$ 22,6 T
Menurut Bambang, pertumbuhan populasi penduduk di Asia juga perlu menjadi perhatian khusus. Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menarik investasi ke Asia adalah mereformasi regulasi dan kelembagaan.
Sehingga investasi, khususnya di bidang infrastruktur, akan lebih menarik minat investor swasta serta menghasilkan beragam proyek pembangunan yang mengedepankan kerja sama publik swasta (KPS).
"Sejumlah negara perlu mereformasi kebijakan terkait dengan KPS," kata dia. Kebijakan itu termasuk aturan perundangan tentang KPS, menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa, hingga mendirikan unit kerja independen untuk mengelola KPS.
Selanjutnya, Bambang menuturkan pendalaman pasar modal di negara-negara Asia juga dibutuhkan untuk optimalisasi penyaluran dana modal dalam jumlah besar. "Sehingga negara tersebut lebih produktif," ucapnya.
Baca: ADB Prediksi Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,1 Persen pada 2017
Jika dilihat secara keseluruhan, Asia Timur mengambil porsi hingga 61 persen dari total kebutuhan investasi yang telah disesuaikan dengan perubahan iklim hingga 2030 mendatang.
Namun, berdasarkan persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), sub kawasan Asia Pasifik mengambil porsi terbesar, yaitu 91 persen, dari total PDB. Kemudian diikuti Asia Timur 52 persen, Asia Selatan 8,8 persen, Asia Tengah 7,8 persen, dan Asia Tenggara 5,7 persen.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo menuturkan pemerintah Indonesia hingga kini terus melaksanakan reformasi pembangunan. Di antaranya dengan mengembangkan berbagai produk infrastruktur yang dibutuhkan publik.
"Kita bangun infrastruktur yang berdampak besar untuk menekan ketimpangan ekonomi," kata dia dalam kesempatan yang sama.
Baca: ADB Siap Perbanyak Investasi Infrastruktur di Indonesia
Di antaranya dengan memangkas subsidi untuk sektor nonproduktif dan mengalihkannya untuk sektor produktif, seperti pembangunan jalan dan bandar udara. Seluruh ide pembangunan itu tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Terkait dengan skema pendanaan untuk pembangunan infrastruktur itu, Lukita menjelaskan, pemerintah telah menerapkan skema publik private partnership (PPP) hingga pembiayaan investasi non-anggaran (PINA) pemerintah. "Dengan skema pendanaan tersebut, kami berharap target pembangunan hingga 2019 mendatang dapat terwujud," ucapnya.
GHOIDA RAHMAH