TEMPO.CO, Jakarta - PT Freeport Indonesia tidak berharap dengan langkah arbitrase karena dinilai akan merugikan pihak PTFI dan pemerintah (lose to lose). Freeport masih akan bernegosiasi dengan pihak pemerintah untuk mencari win-win solution.
SVP Geo Engineering PTFI Wahyu Sunyoto mengatakan, PTFI masih menolak untuk merubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Baca : Imbas Sengketa Freeport, Pasokan Tembaga Dunia Anjlok
“Arbitrase jangan sampai terjadi. Pemerintah memberi waktu 6 bulan, kami akan memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya,” kata Wahyu di Jakarta, Senin 20 Maret 2017.
Wahyu mengatakan, akibat polemik tersebut stok konsentrat menumpuk dan produksi bijih mineral terpaksa dipangkas. Situasi saat ini berbahaya bagi kelanjutan operasi dan produksi di Tambang Grasberg. Cadangan di tambang bawah tanah bisa hilang tertimbun akibat terganggunya kegiatan produksi.
Baca Juga:
Baca : Saham Freeport untuk Masyarakat Papua Disarankan Dikelola Khusus
Sementara itu, pemerintah juga masih bersikukuh agar perusahaan asal Amerika Serikat tersebut mengubah Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus untuk menambah pemasukan negara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot mengatakan kontribusi Freeport terhadap pemasukan negara masih kecil.
Sepanjang tahun 2009 sampai 2006, PTFI membayar royalti, pajak, dividen dan pembayaran langsung hanya USD16,6 miliar. Tahun lalu, jumlah pembayaran kewajiban PTFI hanya USD424 juta.
“Angka ini masih lebih kecil dari pada kewajiban yang dibayar oleh industri rokok yang mencapai 139,5 miliar per tahun. Kontribusinya terhadap APBN juga masih lebih kecil dari pada BUMN, seperti Bank Mandiri dan yang lain,” katanya di acara yang sama.
BISNIS