TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia bersama negara-negara anggota G20 menegaskan komitmen untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi dunia dan memperkuat resiliensi ekonomi di lingkup nasional dan global. Upaya mewujudkan pertumbuhan yang kuat, berimbang, berkesinambungan, dan inklusif itu ditempuh dengan sejumlah kebijakan baik moneter, fiskal, dan reformasi struktural.Komitmen itu disampaikan dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara G20 pada 17-18 Maret 2017 di Baden-Baden, Jerman.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus D.W. Martowardojo, yang hadir dalam pertemuan itu bersama delegasi BIdan Kementerian Keuangan pun menyampaikan apresiasi atas komitmen G20 tersebut.
Baca: Di Pertemuan G20, RI akan Bahas Perppu Pertukaran ...
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara mengatakan di tengah pemulihan ekonomi global yang belum kuat dan berimbang saat ini serta untuk mencapai target pertambahan pertumbuhan kolektif negara G20 sebesar 2 persen pada 2018, Indonesia mendukung fokus Presidensi Jerman.
"Fokus itu menekankan pada pentingnya implementasi komitmen negara G20 pada dokumen yang dikenal dengan Growth Strategy, khususnya yang terkait dengan komitmen reformasi struktural," kata Tirta, dalam keterangan tertulisnya, Senin, 20 Maret 2017.
Kemudian, terkait dengan penguatan resiliensi, Tirta berujar Indonesia mendukung agenda Presiden Jerman dalam penyusunan Panduan Resiliensi (Note of Resiliency) sebagai rujukan yang bersifat tidak mengikat bagi negara G20. Panduan itu diharapkan dapat memperkuat resiliensi ekonomi, di tengah meningkatnya ketidakpastian global terkait dengan arah kebijakan negara maju, risiko geopolitik, dan tren proteksionisme.
Simak: Ini Prioritas Indonesia dalam Forum G20 Juli Mendatang
Upaya penguatan resiliensi itu juga didukung dengan penguatan Jaring Pengaman Keuangan Global (Global Financial Safety Net atau GFSN), dengan IMF sebagai peran utama, serta adanya kolaborasi antara Jaring Pengaman Keuangan Regional (Regional Financial Arrangement atau RFA) dan IMF.
Tirta menambahkan Indonesia menyambut baik pengembangan instrumen bantuan likuiditas baru IMF serupa fasilitas swap, yang diperuntukkan bagi negara anggota dengan fundamental ekonomi baik. "Indonesia berharap agar instrumen baru itu segera tersedia dan agar G20 mendukung IMF dalam finalisasi instrumen baru tersebut," katanya.
Seiring dengan penguatan resiliensi, Indonesia juga mendukung pembahasan G20 tentang manajemen aliran modal (capital flows management atau CFM). Meskipun Indonesia telah meliberalisasi aliran modal sejak 35 tahun lalu serta memperoleh manfaatnya bagi pembiayaan perekonomian, Tirta menuturkan keterbukaan aliran modal juga disadari menimbulkan risiko terkait dengan volatilitas aliran modal yang berlebihan.
Sehingga untuk memitigasi risiko itu, Tirta berujar Indonesia memandang bahwa CFM diperlukan sebagai pelengkap kebijakan makro ekonomi yang sehat untuk melindungi ekonomi dan stabilitas keuangan domestik dari dampak rambatan global yang negatif. Indonesia menerapkan prinsip dan panduan CFM yang disusun dalam Institutional View dari IMF."
Baca: Dua Pekan Tersisa, Dana Repatriasi Tax Amnesty Rp 145 Triliun
Terkait dengan resiliensi keuangan, G20 juga berkomitmen menuntaskan implementasi agenda reformasi sektor keuangan secara tepat waktu dan konsisten. Tirta menjelaskan Indonesia mendukung upaya mengatasi kerentanan struktural dari kegiatan pengelolaan aset, shadow banking, over the counter (OTC) derivatives, Central Counterparties (CCP), permodalan Basel 3,dan risiko misconduct.
Selain itu, Indonesia juga mendukung kerangka struktural yang akan mengevaluasi dampak dari implementasi reformasi keuangan global untuk perbaikan ke depan.
GHOIDA RAHMAH