TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank mematok target pertumbuhan laba bersih 27,3 persen menjadi Rp1,79 triliun pada 2017.
Pada tahun lalu laba bersih turun tipis lantaran peningkatan beban bunga dan bagi hasil. Laporan keuangan audited 2016 Indonesia Eximbank menunjukkan laba setelah pajak mencapai Rp1,41 triliun, atau turun 1,2 persen (year on year/ yoy).
Laba setelah pajak Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada 2015 tercatat Rp 1,43 triliun. Pada tahun lalu pendapatan bunga dan bagi hasil lembaga keuangan khusus itu bertumbuh 18,3 persen (yoy) menjadi Rp6,63 triliun. Namun, beban bunga dan bagi hasil LPEI naik lebih tinggi, yakni 36,4 persen (yoy), menjadi Rp 4,25 triliun.
Raharjo Adisusanto, Managing Director Indonesia Eximbank, menjelaskan bahwa pada tahun ini laba setelah pajak LPEI diproyeksikan sebesar Rp1,79 triliun atau tumbuh 27,3 persen (yoy). Lembaga keuangan khusus milik negara yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 2/2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia itu mematok pertumbuhan pendapatan bunga dan bagi hasil sebesar 23,7 persen (yoy). Adapun beban bunga dan bagi hasil diperkirakan tumbuh lebih rendah dari tahun sebelumnya, yakni 16,9 persen (yoy).
“Kami sudah siapkan sejumlah strategi untuk menekan pertumbuhan beban bunga pada tahun ini,” katanya, Rabu, 15 Maret 2017.
Baca:
Suprajarto Disebut Jadi Direktur Utama BRI yang Baru
OJK Meminta Bank Genjot Penagihan Kredit Bermasalah
Soal Dirut Pertamina yang Baru, Ini Jawaban Menteri Rini
Raharjo menjelaskan, pada 2016 pengalihan mata uang dari dolar Amerika Serikat ke rupiah oleh eksportir ketika menarik dana dari LPEI menjadi faktor utama peningkatan beban bunga. Menurut dia, sepanjang tahun lalu realisasi pembiayaan ekspor dalam mata uang rupiah mencapai Rp16,2 triliun. Padahal menurutnya, perusahaan hanya menerbitkan surat utang senilai Rp8 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan dalam denominasi rupiah.
Raharjo mengungkapkan eksportir cenderung menarik dana dalam bentuk rupiah di tengah kurang kondusifnya pasar. “Mereka tidak mau tarik dolar, justru menarik rupiah dengan perhitungan masing-masing eksportir. Itu berarti ada switching.”
Dia menjelaskan pada tahun lalu biaya dana dalam denominasi rupiah mencapai 8 persen, sedangkan dalam dolar mencapai 3 persen. Namun, dia mengatakan perubahan suku bunga oleh Federal Reserve cukup berpengaruh pada biaya dana dalam denominasi dolar. “Ini penyebab utama peningkatan beban dana sampai 30 persen,” kata Raharjo.
Guna menekan beban bunga dan bagi hasil, Raharjo mengatakan perusahaan akan melakukan strategi matching concept atau oneto- one fi nancing. Melalui strategi itu, LPEI akan membiayai beberapa eksportir dengan kategori tertentu secara khusus. Langkah itu dinilai bakal efektif menekan biaya dana karena penyedian dana disesuaikan secara spesifi k dengan kebutuhan eksportir. “Mereka perlu apa, kami sediakan dengan sekian tenornya, carikan partner luar,” katanya.
Menurut Raharjo, pada bulan lalu Otoritas Jasa Keuangan juga telah mengeluarkan surat edaran yang menyetarakan obligasi LPEI dengan surat berharga negara yang wajib dimiliki pelaku industri keuangan nonbank dalam porsi tertentu. Dia optimistis obligasi LPEI akan semakin diminati pelaku IKNB. Apalagi, sebagian besar pelaku IKNB, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan PT Taspen (Persero), sudah rutin membeli surat utang LPEI. Kondisi itu diyakini akan membantu menekan biaya dana LPEI.
Raharjo mengatakan saat ini pihaknya mengambil langkah front loading dalam penerbitan surat utang. Pada awal tahun ini, perusahaan sudah aktif melakukan emisi surat utang untuk mendukung ekspansi sepanjang tahun ini.
Pada kesempatan yang sama, Susiwijono Moegiarso, Plt. Direktur Eksekutif Indonesia Eximbank, mengungkapkan sepanjang tahun ini perusahaan menargetkan pembiayaan ekspor bertumbuh 18,7 persen (yoy) atau mencapai Rp105,09 triliun. Pihaknya mampu mencatatkan total aset senilai Rp115,18 triliun atau tumbuh 14,4 persen (yoy) pada akhir tahun ini. “Tahun lalu pembiayaan LPEI bisa bertumbuh 18,3 persen (yoy) dan total aset tumbuh 18,5 persen (yoy).”
Susiwijono mengaku optimistis target pertumbuhan tersebut bisa dicapai karena pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia diperkirakan membaik pada tahun ini. Adapun faktor lain yang berpengaruh, adalah harga komoditas dunia diperkirakan mengalami rebound pada tahun ini.