TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah dilaporkan masih stabil seiring dengan meningkatnya keyakinan konsumen. Pada perdagangan Rabu, 8 Maret 2017, rupiah ditutup pada level 13.340 di tengah mayoritas kurs di Asia yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat.
Sedangkan yield surat utang negara (SUN) terus mengalami penurunan. "Rupiah yang konsisten stabil bisa mulai tertekan dolar Amerika yang kuat," ujar analis Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, dalam keterangan tertulis, Kamis, 9 Maret.
Rangga menuturkan Consumer Confidence Index Indonesia, yang naik ke 117,1 dari 115,3 pada Februari 2017 lalu, memberikan harapan pertumbuhan yang lebih cepat di kuartal satu tahun ini. "Walaupun akan ada dampak negatif dari terhentinya ekspor Freeport," ujarnya.
Baca: Kurs Rupiah Masih Tertekan, Terpengaruh Amerika?
Rangga melanjutkan penguatan dolar Amerika didorong rilis hasil perkembangan tenaga kerja Amerika yang melebihi ekspektasi. Pertumbuhan tenaga kerja Amerika dilaporkan menunjukkan kenaikan signifikan sehingga mendorong penguatan dolar serta yield US Treasury hingga dini hari tadi.
"Jika diikuti perbaikan NFP pada Jumat malam, peluang kenaikan Fed Fund Rate target pada Maret 2017 akan semakin mendekati 100 persen," kata dia. Sedangkan pasar juga masih menanti rilis hasil inflasi Cina yang diperkirakan diumumkan hari ini.
Baca: Kurs Rupiah Menguat Tipis, Terimbas The Fed
Sementara itu, Rangga menyatakan yield US Treasury yang naik tajam membuat ruang penguatan SUN terbatas. Yield global masih terus naik secara konsisten dengan memasukkan faktor harapan kenaikan Fed Fund Rate pada pertengahan bulan ini.
Terlebih, data serapan tenaga kerja Amerika telah membaik dengan inflasi yang terus naik melewati target Bank Sentral Amerika(The Fed). Namun, menurut Rangga, anjloknya harga minyak mentah akibat kenaikan tajam persediaan Amerika akan mencegah kenaikan drastis yield global.
Dari sisi domestik, aliran dana asing ke SUN belum berhenti. Hal itu terlihat dari kenaikan konsisten proporsi kepemilikan asing hingga 37,7 persen dari sebelumnya 37 persen pada pertengahan Februari lalu.
Adanya tekanan permintaan SUN itu, kata Rangga, mampu mendorong penurunan yield SUN meskipun inflasi domestik meningkat dan yield global sedang berada pada tren kenaikan. "Ruang penurunan yield SUN dipercaya mulai terbatas di jangka pendek menjelang FOMC meeting 14-15 Maret mendatang," ujarnya.
GHOIDA RAHMAH