TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengatakan pihaknya telah melakukan penyidikan terkait dengan ada-tidaknya transaksi jual-beli tanah di lahan tambang PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc. Dari hasil pemantauan yang dilakukan dari 2015 hingga 2017, mereka menemukan fakta bahwa pemerintah Indonesia dan PT Freeport tidak pernah membayar transaksi jual-beli atas tanah yang dimiliki warga suku Amungme dan Kamoro di Timika, Papua.
"Kalau pernah jual-beli di mana, kepada siapa, siapa notarisnya. Dan hasilnya, Komnas HAM menanyakan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Freeport, Kementerian Agraria, dan mereka tidak pernah membuktikan bukti autentik adanya transaksi jual-beli," ujar Natalius di kantor Kementerian ESDM, Selasa, 7 Maret 2017.
Baca Juga:
Baca: Tutup IORA, Presiden Jokowi Ingin Intensifkan Kerja Sama Ekonomi
Hari ini, Komnas HAM mewakili warga Papua menemui Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar. Selama 40 menit mereka mengadakan pertemuan secara tertutup, mereka menawarkan diri menjadi mitra strategis pemerintah dalam perundingan dengan PT Freeport. Selain itu, mereka menyampaikan hasil temuannya. Mereka menganggap, telah terjadi penguasaan dan perampasan hak masyarakat secara sewenang-wenang oleh Freeport dan pemerintah.
"Jadi harus ada kompensasi berupa uang dan share saham. Untuk itu (hasil pemeriksaan) kami serahkan ke Pak Menteri. Selanjutnya Pak Menteri untuk ditindaklanjuti," kata Natalius.
Natalius menambahkan, Komnas HAM sangat konsen terhadap adanya proses perundingan dan negosiasi yang sedang terjadi antara pemerintah dan Freeport. Menurut mereka, pemerintah Indonesia sebagai salah satu otoritas dan Freeport sebagai pemilik sarana dan prasarana pertambangan, sedangkan masyarakat lokal mempunyai hak atas sumber daya alam. Karena itu, mereka menginginkan adanya kepastian keterlibatan masyarakat lokal di dalam perundingan tersebut.
Baca: Mari Pangestu: Waspadai Perang Dagang Global Raga-gara Trump
"Apakah melalui kontrak karya atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK), soal pilihan tergantung pemerintah dan Freeport. Tapi bagi kami, Komnas HAM konsen untuk memastikan agar masyarakat harus jadi bagian dalam subjek pengambilan keputusan," tuturnya.
Menurut Natalius, kepastian masyarakat Timika atas posisi perundingan tersebut penting untuk menentukan arah, seperti pengelolaan perusahaan, kepastian pembangunan kapasitas sosial, keberlanjutan usaha, serta kepastian untuk menjadi mitra strategis pengelolaan usaha yang saat ini dioperasikan Freeport.
"Apakah nanti perundingan antara Freeport dan pemerintah berhasil, kemudian Freeport melanjutkan usahanya atau terhenti, bagi kami bukan menjadi konsen. Bagi kami kalau dilanjutkan, bagaimana posisi masyarakat, dan kalau terhenti, bagaimana tanggung jawab akibat operasi yang menyebabkan berbagai kekurangan," ucap Natalius.
DESTRIANITA