TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia dan Bank of Korea menandatangani perpanjangan perjanjian kerja sama billateral currency swap arrangement (BCSA). Perjanjian diteken oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo dan Gubernur Bank of Korea, Joyeol Lee, hari ini, di Jakarta, Senin, 6 Maret 2017. Melalui perjanjian tersebut, kedua bank sentral dapat saling menukar mata uang lokal dengan nilai KRW 10,7 triliun atau Rp 115 triliun.
Agus D.W. Martowardojo mengatakan perpanjangan kerja sama tersebut merupakan upaya untuk memperkuat hubungan perekonomian Indonesia dan Korea melalui penggunaan mata uang masing-masing negara. “Tujuannya agar kedua negara dapat mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan mata uang tertentu,” kata Agus dalam keterangan tertulis, Senin, 6 Maret 2017.
Baca : Jaring Nasabah Muda, BNI dan Garuda Gandeng Afgan
Menurut Agus, kerja sama BCSA juga merupakan bagian dari inisiatif pendalaman pasar keuangan. "Berlanjutnya upaya ini penting dalam mendukung ketahanan perekonomian, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian global seperti yang terjadi akhir-akhir ini,” ungkapnya.
Perjanjian BCSA juga menjamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal antara kedua negara dalam kondisi krisis, guna mendukung stabilitas keuangan regional. Agus mengatakan perjanjian tersebut berlaku efektif selama tiga tahun dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak.
Kerja sama BCSA antara BI dan Bank of Korea pertama kali ditandatangani pada 6 Maret 2014. Kerja sama ini dilatarbelakangi oleh terjalinnya hubungan ekonomi antara kedua negara khususnya di sisi perdagangan. Di sisi impor, Korea merupakan negara asal Impor Indonesia keempat dengan rata-rata pangsa tahunan di periode 2010-2015 sekitar 6,5 persen dari total impor Indonesia dari berbagai negara. Di sisi ekspor Korea merupakan negara tujuan ekspor keenam Indonesia dengan pangsa tahunan sekitar 6,8 persen di periode yang sama.
Baca : BNI Syariah Incar Pertumbuhan 20 Persen
Namun sebagian besar transaksi ekspor impor masih menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Secara bilateral, 98,78 persen ekspor dan 62,91 persen impor non migas Indonesia – Korea masih dilakukan dalam mata uang dolar AS. “Oleh karena itu perlu upaya mendiversifikasi penggunaan mata yang dalam transaksi perdagangan dengan negara di kawasan dalam rangka stabilisasi rupiah,” ujar Agus.
VINDRY FLORENTIN