TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan kebijakan keterbukaan saling tukar informasi dan data nasabah untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah menghindari pengemplang pajak atau masyarakat yang berupaya menghindari kewajiban membayar pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) nantinya akan mendapatkan akses data perbankan untuk melacak harta dan aset milik wajib pajak (WP), bekerja sama dengan otoritas pajak serta perbankan negara-negara di dunia. "Perkembangan ekonomi dunia sudah tidak mengenal batas dan membuat pertukaran aset juga semakin cepat," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad di JS Luwansa, Jakarta, Jumat, 3 Maret 2017.
Baca: Harga Minyak Dunia Turun karena Pemangkasan Produksi Lemah
Muliaman menuturkan, negara pun memiliki kekuatan, yaitu potensi pemberian nilai tambah yang menarik minat investor negara lain, sehingga dapat mengalirkan dananya dalam jumlah besar. Selanjutnya, investor memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan memperluas investasi serta tabungan aset, dengan hasil timbal balik yang menguntungkan dari industri jasa keuangan. Namun para investor itu juga tetap memiliki kewajiban perpajakan, yaitu melaporkan harta dan aset yang dimiliki.
Simak: Darmin: Komisioner Lama OJK Tak Penuhi Kualifikasi
Muliaman berujar, adanya perilaku pengemplang pajak yang menjadi isu di seluruh dunia kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat menerbitkan ketentuan pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau Foreign Account Tax Compliance pada 2010.
Bentuknya adalah perjanjian bilateral dengan negara-negara lain untuk menggali informasi warga Amerika yang diduga mengemplang pajak. Kebijakan tersebut kemudian melatarbelakangi kerja sama internasional penerapan AEoI. "Jadi pemimpin negara G20 bergerak menyusun standar kebijakan serupa."
GHOIDA RAHMAH