TEMPO.CO, Jakarta – Anggota tim advokasi serikat pekerja PT Freeport Indonesia, Tri Puspital, mengatakan sekitar seribu pegawai harus diberhentikan di tengah perundingan dengan unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, mengenai peralihan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
“Mungkin istilahnya pengurangan yang lebih identik kepada kontraktornya,” ujar Tri saat dihubungi Tempo, Senin, 27 Februari 2017.
Laporan manajemen Freeport Indonesia kepada Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, menyatakan perusahaan itu telah mengurangi 1.087 karyawan. Akibatnya, sejumlah karyawan Freeport juga berdemonstrasi di kantor Bupati Mimika, Papua.
Baca: Pemerintah Siapkan Inalum untuk Kelola Freeport
Dalam demonstrasinya, mereka meminta pemerintah Indonesia segera menerbitkan perizinan kepada Freeport untuk kembali mengekspor konsentrat ke luar negeri. Menurut Tri, pekerja yang terkena dampak adalah mereka yang berada dalam bidang kontraktor. Adapun status mereka merupakan pekerja kontrak.
“Kalau kontraktornya itu sekitar 1.000 orang. Mereka adalah pekerja yang identik dengan pekerja proyek yang statusnya kontrak. Jadi istilahnya yang borongan pekerjaan,” ujar Tri.
Tri menuturkan pengurangan pekerja di bidang kontraktor terjadi karena Freeport tidak melakukan ekspansi pembangunan baru untuk bawah tanah. Akibatnya, jumlah investor berkurang. “Dampak secara keseluruhan belum. Hanya bagian kontraktor,” ujar Tri.
Selama masa perundingan, Freeport pun menolak status IUPK dengan dalih membutuhkan kepastian untuk kelancaran investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar hingga 2041. Perusahaan itu juga menolak kewajiban divestasi sebesar 51 persen.
Baca: Empat Pembangkit Panas Bumi Beroperasi Tahun Ini
Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, sebelumnya menyatakan telah memberikan waktu 120 hari kepada pemerintah untuk mempertimbangkan perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak. Sebab, Freeport masih tetap mempertahankan untuk mengacu pada kontrak karya (KK). Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017.
Jika tidak selesai, Freeport akan melanjutkan persoalan ini ke arbitrase internasional. Adkerson menuding pemerintah melanggar ketentuan KK Tahun 1991 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
Untuk diketahui, pada 11 Januari 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (PP Minerba).
Baca: BBM Satu Harga Belum Sentuh Anambas, Tembus Rp 30 Ribu/Liter
PP ini menegaskan perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter, dilarang ekspor. Kemudian jika ingin tetap ekspor harus mengubah statusnya dari KK menjadi IUPK. Dengan menjadi IUPK, Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.
Pada 25 Januari 2017, perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga sempat menyatakan mempertimbangkan langkah hukum (legal action) untuk menggugat pemerintah Indonesia. Langkah itu menyusul perusahaan tidak mendapatkan izin ekspor. Sebab, berdasarkan KK, Freeport memiliki hak untuk mengekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau kewajiban membayar bea ekspor.
LARISSA HUDA