TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan empat unit pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas total 215 megawatt (MW) beroperasi tahun ini. Pengoperasian PTLP tersebut meningkatkan kapasitas terpasang pembangkit uap panas Tanah Air menjadi 1.858 MW dari tahun sebelumnya 1.643 MW.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Yunus Saefulhak menerangkan, salah satu pembangkit tersebut adalah PLTP Sarulla Unit II berkapasitas 110 MW di Sumatera Utara. “Pembangkit Sarulla Unit I sudah beroperasi pada akhir tahun lalu. Pembangkit ini dikembangkan oleh konsorsium Sarulla Operation limited,” ujar Yunus, seperti dikutip dari situs Kementerian Energi, Sabtu, 25 Februari 2017.
Baca: Pemerintah Siapkan Inalum untuk Kelola Freeport
Pembangkit lainnya adalah PLTP Karaha Bodas berkapasitas 30 MW di Jawa Barat dan PLTP Ulubelu Unit 4 di Lampung. Keduanya dikelola PT Pertamina (Persero). Yang terakhir adalah PLTP Sorik Marapi Modular di Sumatera Utara yang dikelola KS Orka Renewables.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Purnomo menyatakan kecewa atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Regulasi ini dianggap bisa menghambat upaya penemuan cadangan panas bumi.
Baca: Investor Australia Siapkan Rp 39 Triliun untuk Indonesia
Abadi menyoroti Pasal 11 dalam beleid tersebut yang menyebutkan bahwa kontrak jual-beli listrik panas bumi baru bisa ditandatangani setelah pengembang memiliki cadangan terbukti. Padahal, untuk memperoleh cadangan terbukti, pengusaha harus melakukan pengeboran eksplorasi. Rata-rata biaya pengeboran mencapai US$ 8-10 juta per sumur. Jika eksplorasi gagal, risiko menjadi tanggung jawab pengembang.
"Siapa yang mau membiayai eksplorasi? Pengusaha tidak ingin mengebor sumur yang listriknya belum tentu dibeli," kata Abadi.
Pemerintah juga membuka kembali ruang negosiasi antara PLN dan pengembang yang menambang uap panas di Jawa, Sumatera, dan Bali. Abadi mencatat, negosiasi itu merupakan muara masalah tersendatnya proses perjanjian jual-beli listrik antara PLN dan pengembang.
Baca: Menteri Basuki Ingin Pemda Tambah Ruang Terbuka Hijau
Sebab, dalam peraturan sebelumnya, PLN diwajibkan membeli listrik dengan harga patokan tertentu yang berbeda di setiap daerah. Semakin besar biaya investasi di wilayah penambangan, harga jual listrik makin tinggi. Skema ini disebut sebagai feed-in tariff. "Aturan ini justru kembali ke rezim sebelum Undang-Undang Panas Bumi dibuat."
Menanggapi hal ini, Yunus mengatakan regulasi baru diterbitkan dengan tujuan menekan biaya pengembangan listrik berbasis energi bersih. Pihaknya sudah mengusulkan pemberian insentif bagi kontraktor. Insentif bakal diatur dalam peraturan Menteri Keuangan.
Menurut Yunus, salah satu insentif tersebut adalah pembebasan iuran pada masa eksplorasi. “Intinya, potensi EBT (energi baru terbarukan) untuk dikembangkan masih bisa dicari dan berpeluang besar."
Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 29 ribu MW. Sampai saat ini, yang dimanfaatkan baru 1.643 MW. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan sumbangan energi panas bumi dalam bauran energi pembangkit listrik harus mencapai 7.200 MW pada 2025.
ROBBY IRFANY