TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah siap mengelola tambang PT Freeport Indonesia melalui perusahaan tambang milik pemerintah. “Pemerintah bisa, ada Inalum. Tergantung Menteri BUMN, tapi sudah di-exercise,” ujarnya, Minggu, 26 Februari 2017.
Pengambilalihan pengelolaan tambang Freeport dilakukan jika pemerintah menang dalam gugatan arbitrase internasional. “Bisa saja konsorsium, tergantung melihatnya saja,” kata Luhut.
Menurut Luhut, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sanggup mengambil alih pengelolaan Freeport. Inalum adalah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang peleburan aluminium di Asahan, Sumatera Utara. Rencananya, Inalum akan memimpin perusahaan-perusahaan tambang milik pemerintah dalam holding BUMN tambang.
Baca juga: Prabowo Soal Kisruh Freeport: Solusinya Semua Menang
Saat ini pemerintah masih dalam proses perundingan dengan PT Freeport Indonesia mengenai peralihan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Chief Executive Officer Freeport-McMoran, induk PT Freeport Indonesia, Richard Adkerson memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara pemerintah dan Freeport. Jika proses perundingan mandek, Freeport mengancam akan membawa kasus kontrak ke arbitrase internasional.
Menurut Adkerson, pemerintah melanggar ketentuan kontrak karya 1991 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Selain itu, Freeport menolak IUPK dengan dalih membutuhkan kepastian untuk kelancaran investasi tambang bawah tanah sebesar US$ 15 miliar hingga 2041. Perusahaan itu juga menolak kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Baca juga: Dibanding KK, IUPK Dinilai Lebih Menguntungkan bagi Freeport
Anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Gus Irawan Pasaribu mendukung Inalum mengambil alih pengelolaan tambang Freeport. Menurut dia, kinerja Inalum kini semakin bagus tanpa campur tangan pihak asing. Inalum didirikan atas hasil kerja sama pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co dari Jepang pada 1976. Pemerintah kemudian mengambil alih seluruh kepemilikan pada akhir 2013.
Menurut dia, substansi utama adalah menyelamatkan kekayaan negara untuk kepentingan masyarakat. Menurut Gus Irawan, terkait ancaman yang dilontarkan Freeport mengenai pemutusan hubungan kerja atau menggugat ke arbitrase internasional, itu adalah hal biasa.
“Ancaman itu biasa, kita menghormati kontrak karya sebagai negara berdaulat, tapi mereka juga harus menghormati undang-undang di sini,” ujar Irawan kepada Tempo.
Baca juga: Jika Freeport Bandel, Luhut: Kita Tunggu Saja Presiden
Koleganya di Komisi Energi DPR, Kurtubi, justru menyatakan pengelolaan Freeport lebih tepat diberikan kepada PT Aneka Tambang. “Tapi baik Antam maupun Inalum membutuhkan waktu untuk bisa mengoperasikan tambang sebesar Freeport. Soal bisa, pasti bisa,” katanya.
Kurtubi menuturkan, kekayaan alam Indonesia sudah semestinya dikelola oleh perusahaan negara. “Skema kontrak karya yang dipakai di sektor pertambangan nasional sangat merugikan negara,” ucap Kurtubi.
GHOIDA RAHMAH | ADITYA BUDIMAN | ALI NUR YASIN