TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai pemerintah yang saat ini masih mempertahankan operasi PT Freeport Indonesia merupakan sebuah kesalahan. Menurut mereka, tanpa Freeport, keuangan negara tidak akan guncang. Koordinator Jatam Nasional, Merah Johansyah, mengatakan pemerintah harus mengambil langkah “ambil alih” dan bukannya mengeluarkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) baru atau divestasi yang hanya merupakan proses back to bussiness saja.
“Sudah saatnya pemerintah menghentikan dan menutup operasi pertambangan Freeport di Papua, karena selain tak pernah menguntungkan apalagi menyejahterakan, pemberian kontrak karya kala itu dilakukan tanpa persetujuan rakyat Papua yang sejak 1967 telah diperjualbelikan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan Freeport,” ujar Merah Johansyah dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 25 Februari 2017.
Baca Juga:
Baca : Jika Kalah di Arbitrase, Freeport Dinilai Bakal Rugi Besar
Menurut Merah, Indonesia bisa sejahtera tanpa Freeport, karena unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc itu hanya menjadi beban karena penerimaan pemerintah yang terlalu kecil, namun di saat bersamaan harus mengorbankan keselamatan rakyat dan alam Papua akibat eksternalitas.
“Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan rehabilitasi, kehancuran sosial dan lingkungan hidup yang diwariskan tak terpulihkan,” tuturnya.
Merah mengatakan atas aktivitas pertambangan Freeport tersebut harus ada proses penegakan hukum atas pelanggaran undang-undang dan pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini telah mereka lakukan. “Freeport pun harus dituntut melakukan pemulihan atas kerusakan alam yang ditimbulkan selama 50 tahun beroperasi di Papua. Indonesia mampu sejahtera tanpa tambang Freeport,” ucap Merah.
Berdasarkan data JATAM, dua konsesi tambang Freeport, yakni Blok A di Kabupaten Paniai dan Blok B pada 2012 di Kabupaten Mimika luasannya mencapai 212.950 hektar, hampir seluas Kabupaten Bogor. Perusahaan ini meracuni dan menjadikan sungai sebagai tempat sampah dan membuang limbah beracun berupa merkuri dan sianida.
Baca : Pengamat: Peluang Pemerintah Menang Lawan Freeport 70 Persen
Adapun lima sungai yaitu sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe telah menjadi tempat pengendapan tailing tambang mereka. Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016. Hingga 2016, area kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.
Pada pertengahan tahun lalu, Freeport Indonesia juga membangun perluasan tanggul baru di barat dan timur ke arah selatan, akibat aliran tailing yang sudah sampai laut dan tak terkendali juga mengancam sungai baru, sungai Tipuka hanya demi mengejar produksi 300 ribu ton per hari.
“Untuk mendapatkan 1 gram emas, maka dibuang 2.100 kilogram limbah batuan dan tailing, dan dihasilkan pula 5,8 kilogram emisi beracun logam berat, timbal arsen, merkuri dan sianida. Bisa dibayangkan bagaimana pengrusakan atas air dan lingkungan terjadi,” kata Koordinator Kampanye Jatam, Melky Nahar.
Baca : Pengamat: Surat Sudirman Said Jadi Kelemahan Hadapi Freeport
Menurut Melky, sayangnya pemerintah Indonesia dan Freeport sengaja mengabaikan fakta kehancuran dan kerusakan ruang hidup rakyat Papua, yang dirundingkan sebatas perubahan divestasi saham 51 persen, penetapan nilai pajak dan royalti baru, dan tak sebutir kalimat pun memperbincangkan tentang keselamatan rakyat dan alam Papua.
“Jelas bahwa kesejahteraan yang selama ini diklaim telah dihadirkan oleh Freeport adalah omong kosong, kesejahteraan semu belaka. Mempertahankan operasi Freeport justru merugikan dan mewariskan kerusakan tak terkendali dan tak terpulihkan,” kata Melky.
DESTRIANITA